Kabut tipis melayang-layang turun. Membawa serta titik-titik embun sedingin es, membelai pipi merah merona Sang Gadis. Anak-anak rambut beriak-riak kemayu, menepis belaian angin nakal. Menepis, namun memanggil menggoda. Ujung-ujung jemari menyentuh pucuk daun teh. Menimbang-nimbang, memilih-milih, dan akhirnya memetik pucuk hijau itu.
Kabut tipis melayang-layang, membungkus pinggul penuh Sang Gadis. Memainkan ujung-ujung kain lalu menyingkapnya. Betis padi seputih susu mengintip, menerawang lapis tipis batik penghalang. Kebun terbentang luas, menjanjikan wangi pucuk-pucuk teh. Hijau tertata dalam baris-baris rapi bak permadani para dewata. Ujung-ujung jari terlatih gemulai, melempar pucuk teh dalam bakul bak penari melempar sampur.
Kabut tipis melayang-layang, menyentuh bibir nan merekah penuh. Mencoba mencumbu sudut-sudut merah delima, agar senyum mengembang menyambut kekasih. Senandung lirih merayu menggoda, memuja pucuk-pucuk teh sumber penghidupan. Sepi, sepi, sepi kebun ini. Bukan masa petik ini, hanya kamuflase, hanya penghilang kerinduan. Tak kunjung tibakah sang pujaan hati?
Kabut tipis telah sirna, menguap, mengasap, pergi meninggalkan kehangatan. Mentari meninggi, mengangkangi caping bambu Sang Gadis. Kemanakah kekasih hati? Mengapa tak kunjung tiba? Pemuda kota yang menawan hatinya, memenjarakan cintanya, dan membelenggu sukmanya. Langkah Sang Gadis lunglai, tak setinggi ini mentari mestinya. Ketika kabut masih melayang seharusnya. Ketika sejuk masih menetesi hatinya layaknya.
Gontai betis padi melangkah pergi. Menyeruak rimbun pokok-pokok teh, menghapusi matanya yang berembun. Janji telah diingkari, hati telah disakiti, cinta putih telah ternodai. Pemuda Kota yang pandai berkata-kata bak pujangga. Yang sentuhan tangannya menggetarkan jiwa, yang senyumnya menggoyahkan kalbu. Tak mau datang lagi. Ahai, Sang Gadis, semudah itu kau terperangkap?
Gemetar betis padi menghentikah langkah. Sayup terdengar desah-desah penuh gairah. Lamat angin mengantarkan gemerisik daun-daun. Batik kain Sang Gadis kembali dimainkan angin, tersingkap betis putih susu yang kini menggigil. Menerawang lapis tipis. Pipi merona…. tidak, membara! Mata pedih bak ditusuk ribuan jarum. Hati merintih tergores pisau penuh karat. Melihat pemuda kota kekasih hati, mencumbu gadis pemetik teh sahabatnya di antara pokok-pokok teh kehidupan! Habis sudah!