Dongeng insomnia · Iseng Aja

Marni, Bakul Jamu Eksekutif – 3

Episode 3: Menembus Nirwana

Silakan mbaca yang lalu dulu yaa 🙂

Marni turun dari bus Trans Jakarta, tentu dengan kopernya yang berisi aneka jamu mujarab ramuannya sendiri. Hari ini sepatunya lebih tinggi 2 cm dari biasanya. Roknya lebih pendek 2 cm dari biasanya, stocking nya lebih mendekati warna asli betisnya, warna blouse nya lebih lembut dari biasanya. Dan rambutnya digelung tinggi dengan sejumput ikal terurai di kanan kiri wajahnya. Hanya wajahnya lebih judes dari biasanya. Sudah empat pria muda, dua bapak-bapak dan tiga om-om berusaha mengajaknya ngobrol sejak naik dari blok M tadi. Huh! Menyebalkan sekali. Ia sedang ingin berkonsentrasi untuk bisa menembus gedung tertinggi di Jakarta yang berjejuluk Nirwana karena nyaris menyentuh langit itu. Bahkan ketika akhirnya ia turun salah seorang om genit itu mengedipkan mata padanya. Hiiyy, mengerikan!

Kini Marni sudah berada dalam lift menuju lantai 12 untuk menemui Rani langganannya. Yah, misi sebetulnya sih untuk mencari tahu bagaimana menembus lantai 98 gedung itu. Sampai di lantai 12 langsung menuju pantry yang sudah menjadi kantornya juga lalu mengirim SMS pada Rani.

Lima belas menit kemudian Rani muncul menemui Marni.

“Heii, Mar, lama banget kamu gak ke sini. Sudah lupa ya? Makin laku nih jamunya?” Rajuk Rani menggoda. Marni segera menyambut Rani dengan cipika cipiki. Duh, bakul jamu jaman saiki ck…ck…

“Mana mungkin saya lupa sama Mbak Rani to? Jamu biasa nih, Mbak?” balas Marni segera membuka kopernya.

“Iyalah, Mar. Gara-gara jamu itu Bapak sekarang makin sering pulang ke apartment lho. Kalo dulu kan cuma week end aja hihihihihi…..” Jawab Rani genit. Marni senyum-senyum. Rani ini adalah istri kedua boss nya yang tentu saja disimpan di apartment mewah agar tak ada yang tahu.

“Syukurlah, Mbak. Kalo Bapak sering-sering datang bisa-bisa segera momong bayi nih? Ihik…iihik….” goda Marni.

“Hush! Kamu ini, eeh tapi… pengen jugak sih. Kalo punya anak kan Bapak makin betah datang ya, Mar?”

“Pasti, Mbak. Namanya punya mainan baru… ehh maksudnya punya bayi lucu ya pasti makin sering datang to.”

“Tapi Bapak kan udah 50 th, Mar. Emang masih bisa menghamili?” Marni cekikikan.

“Mbak Rani ini bener-bener gak tau apa pura-pura gak tau? Ya masih bisa to. Laki-laki itu sampai umur 90 th jugak masih bisa menghamili, Mbak. Memang sih, kualitasnya sudah menurun tapi masih bisa. Nih, nanti kalo Mbak Rani berniat mau hamil, tak kasih jamu buat Bapak, biar makin nyos dan kualitas terjamin.”

“Dasar, kamu, Mar! Tapi boleh jugak siy.”

Obrolan pribadi mereka terhenti karena beberapa teman Rani menyusul dan mulai mengerubuti jamu Marni. Obrolan-obrolan khas perempuan pun mulai ramai diselingi cekikikan di sana-sini.

“Mar, kamu punya jamu buat melet Boss gak? Biar gajiku naik 50% nih!” celutuk Sinta menggoda.

“Waduh, saya kan bakul jamu, Mbak, bukan dukun jadi ya gak punya hihihihi… Tapi kalo jamu Berseri agar selalu menarik hati saya punya.”

“Betul Sin, minum jamu itu aja trus mondar-mandir deh lo di depan Boss, pasti Boss jadi tertarik tuh!” timpal Dini.

“Gimana mau mondar-mandir, orang baru ngeliat gue aja muke Si Boss udah kayak orang kebelet pup!” tukasnya disambut derai tawa teman-temannya.

“Lo juga sih, bikin laporan keuangan salah mulu ya jelas aja Boss jadi mules tiap liat lo!”

Senda gurau masih berlangsung sejenak ketika akhirnya Marni kembali hanya berdua dengan Rani.

“Mbak, udah pernah ke lantai 98 belum?” tanya Marni berdebar sembari sibuk mencuci gelas-gelas kupperwarenya.

“Wiets, itu kan griya tawang paling mewah, Mar. Para dewa tuh yang bersemayam di situ.”

“Ooo….”

“Memangnya kenapa, Mar? Belum pernah aku ke sana.”

“Enggak, cuma pengen aja ke tempat tinggi di mana kita bisa melihat Jakarta seluruhnya, Mbak. Lagipula siapa tahu jamu saya bisa menembus ke sana, Mbak…ihik…ihik…”

“Mmm, aku ada kenalan sih di sana. Namanya Sonya, sekretaris presdir.”

Deg! Jantung Marni seakan berhenti berdetak.

“Coba deh, aku telpon dia. Kamu tunggu sini aja ya.”

Rani lalu meninggalkan Marni sendiri. Jantung Marni berlompatan, kalau betul Sonya itu sekretaris Pak Bimo, berarti semakin dekat ia pada target. Tak lama kemudian Rani kembali menemuinya.

“Beres, Mar. Sonya mau ketemu kamu tapi besok pas istirahat siang. Hari ini dia sibuk banget. Oya, aku promosikan jamu kamu lho, jadi jangan sampai mengecewakan aku ya.”

“Aduh, makasih banget, Mbak. Saya pasti akan memberikan jamu terbaik saya. Oya, sebagai ungkapan terimakasih, hari ini jamu Mbak Rani gratis deh, ndak usah mbayar.”

“Ahh, yang bener kamu? Dua puluh ribu itu lumayan lho, Mar. Nanti kamu rugi.”

“Ndak kok, Mbak. Lagian saya kan udah lama gak ke sini. Suwe ora jamu, jamu godong kubis. Suwe ndak ketemu, ketemu pisan tak kasih gratis.” Marni menembang dengan suara sindennya yang meliuk-liuk. Rani tergelak-gelak.

*******

Siang ini Marni berdandan lebih rapi lagi. Biar siang dan panas, Marni tetap wangi berseri berkat jamu sirih madu yang selalu diminumnya. Memasuki lift khusus lantai 50 ke atas membuat Marni gamang. Apalagi ia hanya seorang diri di kotak ajaib itu. Begitu lift melesat ke atas, otak Marni serasa berkumpul di ubun-ubun. Ziiingg….. bunyi halus itu serasa menembus langit. Merinding Marni dibuatnya. Mulutnya komat-kamit mendaraskan doa keselamatan. Kakinya gemetar, wajahnya pucat, dan rambutnya mendadak mengeriting. Untunglah penunjuk angka 98 segera menyala. Ting! Pintu lift membuka. Gontai dan sibuk mengatur otaknya yang mengumpul di ubun-ubun tadi Marni menyeret kopernya keluar.

Segera high heels nya tenggelam dalam karpet tebal yang berpola menawan. Meja resepsionis dari kayu jati gelap kokoh nampak di tengah ruangan. Mendadak Marni jadi minder. Belum pernah ia memasuki kantor semewah sekaligus sesunyi ini. Empat set sofa mewah menghias sudut-sudut ruangan luas yang tertata saling berjauhan. Di kedua sisi meja resepsionis terdapat pintu jati berukir untuk menuju ruangan-ruangan lain.

Dengan agak kesulitan Marni menyeret kopernya mendekati meja resepsionis. Seorang gadis muda cantik menyapanya dengan sopan.

“Errr, saya Marni mau ketemu Ibu Sonya, Mbak.” Suara Marni lirih, seakan kuatir penghuni di balik pintu berukir akan keluar mendengar suaranya.

“Sudah ada janji sebelumnya?”

“Ee, sudah, saya diminta datang pas jam makan siang.”

“Silakan ditunggu.” Si Gadis Muda Cantik itu menyilakan Marni duduk di salah satu sofa mewah di dekat pintu berukir yang tertutup rapat. Lagi-lagi Marni kerepotan menyeret kopernya lalu duduk di sofa kulit mengilat itu.

Dan Marni pun menunggu.

to be continued 🙂

Episode 4: Gempa di Hati Marni