
Sudah seminggu gak menikmati rujak Yu Minah, maka sepulang kantor aku mampir ke warungnya. Kelebihan Yu Minah adalah membuka warungnya hingga malam, jadi perempuan sok berkarir kayak aku ni masih bisa menikmati rujaknya sepulang kerja. Seperti biasa setelah mengucap salam aku segera bertengger di bangku favorit. Yu Minah segera menutup korannya melihat aku datang.
“Wah, sudah lama ndak main sini to, Jeng. Mau pesan apa nih?” tanya Yu Minah manis.
“Rujak serut aja, Yu. Pedesnya sedeng aja. Barusan baca berita apa, Yu?” tanyaku iseng lalu mengambil koran yang barusan dibaca Yu Minah.
“Itu lho, Jeng, berita SEA Games. Soal supporter itu, saya baru tau kok ada anak sekolah yang dibayar buat mendukung negara-negara yang lagi bertanding itu.”
“Maksudnya? Mendukung Indonesa to? Ya memang harus gitu to, Yu? Di mana salahnya?”
“Wee, mbok dibaca yang bener, nih yang ini beritanya. Dah, sampeyan mbaca dulu baru nanti komentar.”
Maka sementara Yu Minah bergoyang hot yang terkenal dengan julukan “Goyang Ulekan“, aku membaca berita yang ditunjuknya tadi. Sebentar saja alisku sudah bertaut dan pipiku mengerut serta mulutku mengerucut. Sementara Yu Minah mulai menyerut.
“Ediyan, bener, Yu! Jadi rupanya anak-anak SMP dan SMA itu diuutus oleh sekolahnya untuk mendukung negara-negara yang sedang bertanding. Dikasih kaos Maleysa, Thailand ato negara-negara lainnya, bendera, trus dikasih duit 20 ribu sama makan. Brangkat disewain bus segala. Lha piye to ini?” tanyaku tak mengerti.
“Lha ya itu. Rupanya pemerintah setempat memang mengajak kerjasama sekolah-sekolah itu untuk mendukung negara sahabat yang bertanding. Katanya supaya mereka merasa dihargai, tetap bersemangat, dan mengenal negri kita sebagai negri yang ramah dan bersahabat. Toh mereka ini kan “sahabat” Indonesa!” jelas Yu Minah mengutip berita di koran tadi.
“Sik to, menurut saya gak bener itu, Yu. Anak-anak ini kan masih piyik, masih labil-labilnya, lha harusnya kan kita tanamkan jiwa nasionalisme yang tinggi. Supaya mereka ndak dikit-dikit luar negri dan lebih mencintai negri sendiri. Ini kok malah dibayar untuk mendukung negara lain, lha gimana cara njelasinnya ke anak-anak ini coba?” omelku mulai emosi.
“Itu, sampeyan baca…nah…yang ini. Tuh, anak-anak itu bilang ‘biar mulut mendukung Maleysa tapi hati tetap Indonesa‘. Gitu katanya,” sanggah Yu Minah.
“Halah! Tau apa anak-anak ini. Sekarang aku nanya, kalo sebaliknya kita yang jadi tamu dan bertanding di negara mereka, apa mereka memperlakukan hal yang sama? Anak-anak sana disuruh pakai kaos merah putih, melambaikan bendera kita trus bertepuk tangan untuk kita? Belum tentu, Yuuu.”
“Ya jangan berpikir negatif gitu to, Jeng. Kan kita ndak tau. Sampeyan kan belum pernah ngeliat tim kita bertanding di sana trus dielu-elukan bangsa sana? Sapa tau sambutan di sana malah lebih hangat.”
“Eeeh, ya ndak mungkin, Yu! Orang Indonesa yang di luar negri itu pada kompak. Kalo ada tim kita main di sana, maka orang-orang rantau inilah yang rame-rame mendukung bersorak untuk kita. Ini di negri sendiri kok malah mendukung negara lain. Kalo yang bertanding asing sama asing sih silakan aja mau dukung yang mana. Lah kalo tim kita yang main masa iya mau dukung lawan. Aneh ini!”
“Ya sudah, jangan emosi to, Jeng. Itu kan kebijakan pemda sana, kan dibilang kapan lagi jadi tuan rumah pertandingan bergengsi begini? Ya niat mereka kan baik, menurut saya sih ndak papa, Jeng, selama hati tetap Indonesa berarti masih nasionalis,” ujar Yu Minah sambil membungkus rujakku.
“Huh, ya gak bisa gitu. Masih banyak cara lain untuk menunjukkan pernghargaan kita buat mereka. Bersikap ramah dan sopan, beri service yang ok, jaga mutu dan kebersihan tempat mereka menginap. Masih banyak cara, Yuuu!”
Yu Minah mengulurkan rujaknya padaku. Aku pun segera merogoh tas untuk mencari dompet.
“Wah, tasnya bagus banget, Jeng. Seneng ya kalo perempuan kerja kayak sampeyan, bisa beli tas bagus-bagus gitu,” ujar Yu Minah. Aku tersipu-sipu, tasku ini emang bagus dan sering dipuji teman kantor atau relasi.
“Ooo, ini beli di Italy, Yu, nitip teman yang habis liburan dari sana. Bagus kan?”
“Bagus bangeeet. Mm, kalo pake produk luar itu masih tergolong nasionalis kan, Jeng? Soalnya di Tajur kan banyak yang mirip, buatan lokal dan murah lagi.”
Sial!!! Kesindir terus!!! 😡
PS. Akibat membaca koran di tukang soto tadi pagi, kalo gak salah Warta Kota ya? Lupa 😦
Oh ya, semua gambar diambil dari Google 🙂
xixixi … lain kali bawa kresek aja mba, biar ga kesindir xixixi
eniwe, takjub saya mengetahui berita ini *jika emang benar*, karena saya tidak membaca berita sih 😦 entah apa yg ada di benak pemda setempat melakukan ini hiks …
Hadeuuuh…ajaib bgt ya kebijakannya?? ga logis kalo buatku mba Choco..
Oh iya, bilang aj sm Yu Minah, tas itu aslinya bikinan Tajur, tapi diezport ke Italy, githuu… qiqiqiqi
usulan yang aneh bagi saya….tapi kalaupun dikasih uang belum tentu mau tuh jadi supoorter bayarin gitu…
Wah..wah..Aku sih ga mau jadi suporter bayaran Mba..:
hatiku juga ga bisa pindah ke lain hati ow..ow..pindah ke lain hati..*kla project mode on*
Semoga saya tidak termasuk komentator bayaran
waduh, kok aya aya wae ya Mbak Choco…………
pake nyari supporter bayaran buat negara lain??
ono opo tho ??
apa sih maksudnya coba???
hedeh hedeh … 😦
( big question mark nih )
salam
aku nitip rujaknya satu 😀
saleum,
saya juga dah baca berita tersebut lewat media, sangat disayangkan karena nasionalisme telah mampu dibeli…. 😦
tas nya bagus lho, hahahahaa……
saleum dmilano
tetep indonesia pilihanku..heheh
salam kenal sob
biar mulut mendukung malaysia, hati tetap Indonesia. Lho…lho..lho…munafik kok bangga? Astaghfirulloh!
loh ini betulan ya mbak? ih kok gitu ya
choco:
Beneran, Jeng, saya baca di koran 😦
Hahaha… Senjata makan tuan. Piiisss…
wahh berarti pemdanya yg ngga bener tuch….masa iya sech smpe segitunya……namanya anak2 yah senang aja dikasih uang…tp mental mrk kan jd rusak….
“biar mulut mendukung Maleysa tapi hati tetap Indonesa” gaya juga ya bahasanya ha ha..
Aku jg kmrn denger di radio ttg berita ini mbak, gurunya di wawancarai langsung, dikejar dgn berbagai pertanyaan gurunya jawabnya mbulet… Gak jelas.. Ketauan bgt deh uang tujuannya…
Anak2 kok diajari munafik ya.. Mulut dan hati gak sejalan.. 😦
Btw, masalah tas klo aku gak pernah tau merk atau buatan mana mbak.. Yg penting enak dipake, hihihi… ^_^
Nampaknya semua bidang yang membutuhkan keriuhan masa pasti ada saja pendukung / suporter bayarannya.
Entah gimana nantinya, kalo setiap sesuatu sudah tak murni lagi.
Salam.. .
hahaha, mbak choco bisa aja.
bener-bener yah, bukan pemain saja yang bisa bayaran, suporter juga hiks.
dan lagi, kita kalah Malay barusan, hiks….hiks…
aku kok menilai gak ada yang salah yak? apa aku yang terlalu naif yak? niat pemda-nya juga baik. menghargai, entah kenapa kok aku ngeliat sisi baiknya ya? emang sih ujung-ujungnya duit, dan juga ujung-ujungnya cuman pake seragam dan teriak-teriak negara lain. aku pikir yang harusnya tersinggung yah negara laennya. kasihan lah mereka.. untuk mendukung merekapun harus mbayar.
apa aku kurang nasionalis ya Bu Piet? *jadi ragu*
beli di Tajur kan lebih deket toh Bu Piet..
huehehehhehehe….
yah indonesia kalah nih
saya sebagai supertor setia tetap mendukung kemajuan sepakbola indonesia
garuda tetap di dadaku 😀
mbak cantik.. cek di sini ya: http://pagi2buta.wordpress.com/2011/11/23/pemenang-kategori-1-ga-suka-suka/
jangan lupa kirim imel
Aku ketinggalan berita, nggak tau kalo ada beginian..hmm… Kalo aku sih, terima duitnya, terima makannya, tapi tetap dukung negara kita. Kan kasihan para pemain yang udah berlatih mati-matian untuk negara kita kok nggak kita dukung.
Betul nggak Mba? Betul nggak? Mumpung aku lagi waras nih….
Btw, itu tas yang minjam dari aku itu khaaaaannn…?