Dedaunan itu masih saja luruh berguguran, meski musim telah berganti dan ranting-ranting nyaris membeku. Bahkan salju tipis dan lembut sudah mulai melayang-layang turun. Andai abadi itu ada, tentu dedaunan ini masih melekat pada rantingnya. Dan musim takkan pernah berganti.
Aku merapatkan syal yang membebat leher. Dingin jelas-jelas mampu menembus mantelku, setebal apapun. Namun hatiku hangat, mengingat siapa yang kutuju di taman ini. Ah, itu dia! Pria tampan berambut coklat yang duduk di bench¹. Senyumnya hangat, tangannya terentang menyambutku. Aku berlari kecil dan tenggelam dalam dekapannya.
“Aku rindu,” bisikku di bahunya. Ia membelai rambutku dan mengecupnya.
“Mengapa aku harus selalu menemuimu di sini? Mengapa tidak di tempatku saja, lalu kita berpelukan di depan perapian semalaman,” gumamku. Ia tertawa kecil. Dilepasnya pelukannya dan matanya menembus mataku.
“Kau tahu alasannya bukan? Di sinilah akhirku, dan hanya di sini kita bisa bertemu,” ujarnya.
Aku melenguh dan menyerah. Ia membimbingku duduk di sampingnya dan tak mau melepas pelukannya.
“Apa kabarmu, ma chérie²?” tanyanya sambil menjumput segumpal salju tipis dari bahuku.
“Pedih, selalu mengingatmu dan berharap selalu ada di sisimu,” desahku.
“Lalu mengapa tidak?” tanyanya.
Aku merogoh kantong mantelku. Di dalamnya kuraba botol kecil berisi cairan merah delima, amerta³. Carian keabadian yang kutemukan dari saku baju kekasihku beberapa waktu silam. Kukeluarkan kembali tanganku.
“Aku tak berani, amour⁴,” bisikku. Bahuku sedikit menggigil entah kedinginan atau dibayangi kengerian.
“Hei, kau menggigil, chérie! Yuk, kita mainkan waltz seperti dulu.”
Ia membungkuk dan menarik tanganku. Aku tertawa menyambut uluran tangannya.
Kami berdansa di tengah hujan salju tipis, tentu saja diiringi orkestra dalam angan. Beberapa pasang mata menatapku keheranan. Aku tersenyum pada mereka dan sesekali mengangguk anggun.
“Lihatlah, mereka memandangi kita,” bisikku pada kekasihku. Ia menoleh ke arah orang-orang yang lalu lalang di sekitar kami.
“Mereka memandangmu, Sayang, bukan padaku. Karena kau terlihat cantik sekali malam ini,” ujarnya lalu tertawa kecil. Aku merona. Ia menciumku hangat. Dan orang-orang itu bahkan menghentikan langkahnya sejenak dan tersenyum. Aku semakin tersipu.
Musik nyaris berakhir dan dansa hampir usai. Ini saatnya perpisahan, aku sedih dan ingin menangis. Lelah dengan pertemuan sesaat seperti ini, hari demi hari, bulan demi bulan, nyaris setahun derita ini.
“Aku ingin ikut denganmu, amour,” bisikku.
“Ikutlah, Sayang, bukankah sejak pertama aku telah mengajakmu?” jawabnya penuh suka cita.
“Kau yakin, setelah itu kita akan selalu bersama? Tak terpisahkan? Abadi?” tanyaku ragu.
“Ma chérie, pernahkah aku mendustaimu? Bahkan aku belum pernah tak datang sekalipun bukan?”
Aku tertunduk. Orang-orang semakin ramai menikmati salju pertama di musim ini. Taman tak lagi sepi. Semakin dekat waktunya untuk berlalu.
Lagi-lagi aku meraba saku mantelku. Kekasihku mulai menjauh dari pelukku, jauh, jauh, dan menghilang seperti asap. Aku limbung. Cairan ini telah berada dalam genggamanku.
Dalam keraguan, kurebahkan tubuhku di kursi taman. Lagi-lagi tubuhku menggigil, entah dingin entah apa. Kudekatkan cairan amerta itu ke bibirku, dan sebelum kehilangan keberanian kutelan cairan itu dalam satu tegukan lalu tanganku terkulai lemas.
Aliran sedingin es melewati kerongkonganku lalu turun ke lambung. Dalam sekali tarikan napas, aku berjuang menuju ke keabadian. Masih sempat kudengar orang-orang berlari ke arahku.
“Hei, kenapa gadis itu?”
“Sepertinya pingsan, seseorang cepat panggil ambulans!”
“Terlambat! Dia sudah mati!”
“Kasihan, hampir setiap malam ia ke sini, bercakap dan berdansa seorang diri.”
Tak mampu lagi kudengar suara-suara itu. Aku hanya merasa dingin, gelap, tersesat dan kebingungan. Mana? Mana kekasihku? Mana keabadian itu? Mengapa ia tak menjemputku?
*********************************
bench¹ : bangku panjang
ma chérie² : kekasihku
amerta³ : minuman para dewa
amour⁴ : cinta
Cerita di atas hanya sekedar fiksi belaka, ditulis dalam rangka meramaikan Kontes Flashfiction Ambrosia yang diselenggarakan Dunia Pagi dan Lulabi Penghitam Langit.
Horeeee…… ikutan kontes lagi 😀 Wish me luck 😉