Cari Solusi · Dongeng insomnia · Iseng Aja · Nimbrung Mikir · Serial Yu Minah · Tak Enak

Terimakasih, Pak Camat

Mendung menggantung, udara justru panas seperti berada dalam termos. Aneh. Maka daripada keringat menetes sia-sia mendingan menyambangi warung Yu Minah yang sejuk, karena halaman depannya ada satu pohon mangga, satu pohon jengkol, dan satu mengkudu.

Sesampai di sana seperti biasa menyerukan salam dan langsung duduk di bangku kecintaan.

“Jeeng, sampeyan kok sekarang jarang ke mari to? Kan aku jadi rinduuu,” sambut Yu Minah. Aku sedikit gebes-gebes menerima rindunya yang menggebu itu. Idih banget kan? Aku segera mencium minyak kayu putih yang selalu kubawa.

“Capek Yu, kalo udah di rumah ya pengennya langsung santaiii gitu. Buatkan rujak serut satu, ulek satu. Biasa ya, pedes tapi gak banget,” sahutku seraya mengambil koran langganan Yu Minah. Baru saja membaca halaman depan, ponselku berdering. Walah, sore gini kok ya adaaa aja yang menelpon. Staf kantor, sebut saja namanya Ani (Sst, jangan bilang-bilang ya, ini nama sebenarnya).

“Yellooww,” sapaku dengan suara diberat-beratkan. Yelloow = Yes, hello 😛

Maka aku segera mendengarkan laporan Ani yang semakin menaikkan suhu, baik di luar maupun di dalam diriku.

“Gak bisa! Kan sudah dibilang, cek itu harus diajukan dulu ke Big Boss. Itu kan bukan uang kecil!” Seruku gak sabar. Yu Minah yang sedang menggerus bahan sambal melirikku. Ah, aku dah males pindah, dah PW. Biar saja dia mendengar obrolanku.

“Ya kamu bilang dong, masa dia gak mau ngerti? Ini kan perusahaan, bukan duit pribadi yang bisa keluar kapan saja?” Aku masih saja mengomel.

“Bilang minggu depan. Kalo dia maksa ancam saja laporin! Ya…ya…gak…gak bisa…oke. Rabu ya. Oke, thanks, An.”

Akhirnya aku menutup telepon dengan gemas. Dan sudah kuduga sebelumnya, naluri mau tahu Yu Minah langsung terbit.

“Ada apa to, Jeng? Kok sepertinya mengesalkan gitu?” Tanyanya dengan lagak sambil lalu, padahal mau tahuuu. Tapi anehnya aku kok ya mauu aja cerita padanya.

“Gini Yu, ceritanya kantorku itu mau memperluas jenis usaha, nah mesti ngurus ijin ke dinas terkait to. Ceritanya rekomendasi dari Kepala Desa sudah ada. Sekarang lanjut ke Pak Camat,” ceritaku sambil mencomot sepotong nenas segar.

“Terus?”

“Nah, Si Pak Camat ini minta biaya sekian juta. Dinego sama temanku. Tau Yu, negonya itu di dalam mobil Pak Camat dan di pom bensin! Dia gak mau di kantornya. Singkat cerita mentok di segitu juta plus 30 sak semen buat dana bedah rumah miskin (kok kayak acara TV manaaaa gitu ya?). Semen harus diantar ke kantor, uang harus masuk kantong.”

“Ediyan!” Sela Yu Minah gemas. Ketrampilannya mengiris buah dengan kecepatan seorang master Kung Fu itu tetap saja membuatku deg degan.

“Temenku gak berani mutusin dong, dia bilang mau diajukan dulu ke big boss. Eh, besoknya si Pak Camat telpon ke stafku yang lain, bilang kalo surat rekomendasi sudah jadi dan siap diambil. Berangkatlah si Ani ini ke kantor kecamatan dan dia mengambil surat rekomendasi itu! Blaik to?”

“Yo jelas blaik tenan itu!” Seru Yu Minah. Nah! That’s the point! Yu Minah yang bakul rujak saja mengetahui bener arti blaik itu. Mengapa Ani tidak? Dan boss juga tidak. Karena Ani mendapat restu dari boss untuk mengambil surat itu 😥

“Dan sekarang Pak Camat marah-marah, gak mau tahu pokoknya uang harus sudah ada sekarang! Kayaknya mau buat beli sapi tuh. Sementara boss belum ngomong sama big boss dan tentu saja belum turun ceknya. Aduuuuh, mumet aku, Yu!”

“Jelas sampeyan ada di pihak yang salah. Kalo surat sudah diambil, itu berarti sampeyan sudah menyetujui semua syarat yang diajukan Pak Camat, termasuk waktu pembayarannya,” ceramah Yu Minah, “Emangnya bisa ngebon dulu kayak belanja di Engkoh hehehehe…”

“Tapi Pak Camatnya juga gak mutu. Kalo kantor itu kan gak bisa sak deg sak nyet mengeluarkan uang, Yu. Harus bikin payment voucher, form investasi, belum lagi cek yang tandatangan dua orang, baru dicairkan. Ribet, gak mungkin hari ini pengajuan besok turun duitnya,” kataku kesal.

“Lagipula gak malu banget sih? Minta-minta duit untuk pekerjaan yang memang sudah menjadi pekerjaannya. Dan dia sudah digaji untuk itu kan? Itu uang buat apa coba? Minta semen pula, kok jadi beban pengusaha ya?” Cerososku.

“Kalau ada acara bedah rumah miskin segala itu sampeyan berhak minta proposalnya, Jeng. Kayak kalo minta sumbangan tujuh belasan gitu. Sekian juta untuk itu, segini juta untuk ini, segitu juta untuk anu. Nah, sudah ada dana berapa, sisanya dilempar ke pengusaha. Silakan menyumbang sesuai kemampuan.” Seperti biasa Yu Minah yang keminter itu mulai ceramah sembari membungkus rujakku.

“Terus yang sekian juta untuk Pak Camat itu gimana?” Tanyaku.

“Yo itu terserah sampeyan. Jangankan Pak Camat, wong boss nya Pak Camat aja pasti minta kok, bossnya boss teruuus sampe mana ya?  Hiihihihi…..”

Aku membayar rujakku dan segera berlalu.

“Woiii Jeng, sebentar…” Panggil Yu Minah. Aku berbalik.

“Ada apa , Yu?

“Ehh…hehehe…minta nomer hape Pak Camat nya, doong,” katanya kemayu.

“Hah? Buat apa, Yu?”

“Nganu, saya mau minta supaya rumah saya dibedah gitu, hihihihi….”

Halah! 😡