Hari ini adalah peringatan 100 hari meninggalnya Papa tercinta. Sayangnya, hanya Ibu dan Mbakyune yang bisa nyekar ke Yogya. Namun kami, adik-adik mengadakan sembahyangan di rumah Papa. Juga ujub misa di beberapa gereja untuk mohon doa bagi Papa. Aku ingin menulis mengenai Ibu di postingan kali ini. Ibu, belahan jiwa Papa.
Sejak kepergian Papa, Ibu seringkali sakit-sakitan. Ibu memang punya DM, namun terkontrol dan tak pernah terlambat berobat. Namun belakangan Ibu sering mengeluh pusing dan tensi pun lumayan tinggi. Ibu juga sering mengeluh tak bisa tidur jika malam tiba. Sempat tertidur tapi lalu terbangun tengah malam dan gak bisa bobok sampai menjelang subuh. Hingga akhirnya Mbakayune menyarankan Ibu untuk general medical check up. Kalo gak salah yang utamanya pengecekan cardiovascular. Ternyata hasil semua baik, kecuali gula sedikit tinggi. Jadi kemungkinan besar adalah karena pikiran π¦
Hari Minggu lalu aku sempat ngobrol dengan Ibunda. Dan Ibunda pun curhat bahwa meski sudah ikhlas, namun Ibunda masih kepikiran Papa terus. Ibu merasa kesepian dan sangat kehilangan. Aku sangat mengerti, sudah sangat lama mereka berdua tak terpisahkan. Dan terutama, ternyata Ibu takut tanpa Papa! Ibu merasa tidak aman, merasa tidak ada lagi yang melindungi, merasa tidak ada lagi yang mengayomi. Hiks…dan aku sangat mengerti itu.
Ibu lalu bercerita. Dulu, sewaktu masih di Semarang, dengan rumah yang sangat luas dan hanya mereka berdua, Ibu tak pernah merasa takut. Bahkan suatu kali pernah tengah malam, hujan deras dan geludug besar tiba-tiba lampu mati. Maka hanya dengan lampu senter, Ibu turun ke garasi untuk mengecek sekering. Namun sebelumnya Ibu meminta Papa untuk menemani. Papa, dengan segala keterbatasannya, hanya bisa menunggui Ibu di ujung tangga. Tapi Ibu tidak takut turun dan merasa aman, meski Papa hanya berdiri di atas, di ujung tangga. Dan benarlah, ternyata setelah dibetulkan lampu kembali menyala.
Lalu pernah sekali waktu, di kebun samping, masih di rumah Semarang juga, Ibu menemukan ular kecil di dekat mesin cuci. Di atas rumah Papa memang ada rumah lama yang tidak dihuni dan semaknya luar biasa penuh. Kebetulan di daerah situ memang pembangunan rumahnya mengikuti kontur tanah. Sehingga ada yang di atas ada yang di bawah π
Nah, Ibu lalu meminta tolong Papa karena Ibu takut. Papa dengan heroiknya, meski tertatih-tatih, mengusir ular itu dengan tongkatnya tanpa rasa takut sedikitpun. Lalu ular itu dibuang ke kebun bawah dan kabur keluar. Itu hanya beberapa contoh kecil. Namun dari situ aku tahu, bahwa Ibu dan Papa saling bergantung karena mereka hanya berdua saja. Papa, dengan stroke nya selalu berusaha menjadi lelaki kuat sandaran kekasihnya. Dan Ibu, dalam hal-hal tertentu sangat mengandalkan Papa sebagai pahlawannya. Hiks… (I’m crying, my friend π₯ )
Maka aku sangat mengerti ketakutan Ibu sekarang. Karena separuh jiwa Ibu telah berpulang. Separuh hidupnya telah kosong. Tak ada yang bisa menggantikan kehadiran Papa, meski kami anak dan cucu selalu mengunjungi Ibu di setiap kesempatan. Ibu juga bercerita, setiap malam ketika terbangun untuk pipis, Ibu selalu menengok kamar Papa. Dulu selalu ada Papa yang sedang menonton bola, selalu ada Papa yang sedang lelap. Ibu tak pernah takut. Tak pernah sepi meski hanya berdua.
Pernah aku datang ke rumah Ibu petang hari. Kudapati Ibu sedang makan malam. Sendirian di meja makan. Nyaris air mataku tumpah. Biasanya selalu makan dengan Papa, meski kadang Papa lebih memilih terlambat makan, tapi setidaknya Ibu tidak sendiri. Memang Ibu tidak benar-benar sendiri. Ada ART, tapi masih sangat muda sehingga lebih sering berteleponria di kamarnya. Duh, Ibu, aku sangat mengerti kesepianmu.
Sudah ratusan kali, kami meminta Ibu untuk tinggal bersama salah satu dari kami. Terserah mau berapa lama, bergantian Ibu mau tinggal di mana. Tapi Ibu tidak mau. Beliau lebih memilih tinggal di rumah kenangan. Ibu pernah bilang, nanti setelah seribu hari Papa, Ibu mau mempertimbangkan untuk tinggal di salah satu dari kami. Tapi untuk saat ini, Ibu belum mau. Meski hanya sehari dua hari. Karena Ibu takut jika sudah kembali ke rumah perlu beradaptasi lagi.
Ah, Ibuku Sayang, yang kuat ya. Kami semua juga sangat kehilangan Papa, tapi mungkin Ibu yang paling kehilangan. Kami selalu mendoakanmu, Ibu, hanya kau satu-satunya orang tua yang kami miliki sekarang. Kami akan menjagamu sepenuh hati, sekuat kami, semampu kami. Kami semua mencintaimu. Kuatlah untuk kami. Aku cinta padamu, Ibu…

Wah … ada foto mas Dewo …
Semoga yangtie sehat-sehat selalu …
tetap segar.
Salam saya
Dan satu lagi Bu Choco …
Ibu saya pun juga demikian …
kami minta untuk tinggal bersama keluarga saya … atau keluarga adik saya …
beliau selalu menjawab …
“Ibu tinggal di rumah patal senayan saja … ” … rumah yang sudah hampir 40 tahun dihuni …
Rumah penuh kenangan bersama almarhum Bapak …
Ibu bilang … biar masih bisa merasakan baunya bapak di sekeliling rumah itu
Salam saya Bu Choco
semoga ibunya sehat selalu ya π
Sama seperti Bapak, sist…
Sebelum ditinggal Ibu, Bapak adl orang yg sehat, jarang sakit. Tapi sepeninggal Ibu, beliau jadi punya hipertensi (pdhl tadinya justru hipotensi). Dan sama juga sprti ibunya sist Cho & Om Nh, Bapak pun tidak mau diajak tinggal di rumah anak-anak. Tetap memilih tinggal di rumahnya meskipun artinya tinggal sendiri.
Tapi puji Tuhan skrg ada kk yg tinggal di rumah depan jadi Bapak punya teman sehari-hari.
Semoga orang tua kita selalu diberi kesehatan ya Sist..
#peluk
Turut berduka atas kehilangan ayahandanya π¦
Yah, namanya seorang istri pasti akan sangat kehilangan suaminya ketika sudah tiada.
Tapi semoga ibunya dapat penghiburan selalu dari anak2 dan orang terdekat agak segera kembali ceria π
Pasti Ibunya Mbak kehilangan banget ya..moga beliau tetap diberikan kesehatan ya..
biasanya orang tua suka begitu ya mbak gak mau tinggal disalah satu rumah anaknya. kakek & nenekku yang sudah berumur 88 thn aja masih tinggal berdua. semoga nanti ibunya mau ya tinggal dengan anak-anaknya supaya gak kesepian lagi
cinta sejati tuh ya… membacanya terharu banget… Mirip Habibie ya… Semoga Ibunda selalu diberikan kesehatan ya…
maknyeeess π¦ , saling melengkapi :’)
Hiks… kasihan Ibunda… Aku juga selalu berusaha bisa menemani walau pun tidak bisa lama-lama juga.
kehilangan soulmate pasti sangat memukul batin…bayangkan puluhan tahun melakoni apa2 bersama…tp kali ini separuh jiwa udh pergi…semoga ibunda selalu diberi kekuatan lahir batin ya mbak
semoga ibunda selalu diberi kekuatan ya mbak …
Ini mungkin yang sedang dialami oleh Ibuk Mertua saya Mbak…
Sejak kepergian Bapak Mertua, praktis tak ada lagi teman ngobrol. Hari2nya diisi dengan melamun. Dan kesehatannya mulai terganggu. Beruntung sekarang mau tinggal bersama kami. Itupun setelah 2 kali dirawat di rumah sakit, akhirnya baru mau. Sebelumnya senang tinggal sendirian di rumah aslinya
Ibunda kehilangan sang pemilik tulang rusuk Jeng, membiarkan sang waktu sejenak mengubah warna duka sedikit membantu beliau. Ndherek sungkem katur keng ibu diajeng. Salam