Namanya Nurlela, pindahan dari Batavia. Cantiknya, amboi… tak tahan setiap pemuda dibuatnya. Ke mana-mana selalu membawa kucing lucu bernama Mia. Mengapa tak Si Manis atau Si Belang? Entahlah, coba saja kau tanya padanya. Layaknya pejantan, aku pun terpesona akan moleknya. Tapi seperti pungguk merindukan bulan tentu saja. Coba kau bayangkan, Nurlela begitu cantik, suaranya mendayu bila berkata-kata. Sementara aku bujang lapuk, tak pula bisa bicara. Seringkali aku iri hati pada Mia. Andai saja aku yang dipeluknya, dielusnya, dikecupnya.
Sore ini, seperti biasa kulihat Nurlela dan Mia duduk di beranda. Ragu kudekati pagar rumahnya. Lihat, Nurlela tengah berdendang dengan Mia pada pangkuannya. Iri, sungguh iri hati aku jadinya. Kucoba curi perhatian dengan berdiri pada tengah pagar. Ahai, tak sia-sia! Nurlela mendongak dan berseri wajahnya.
“Rahul, mari singgah,” serunya melagu. Berdebar dadaku namun segera kuhampiri pujaan hatiku. Nurlela menepuk-nepuk sebelahnya, tanda aku boleh duduk di sisinya. Ini yang kutunggu-tunggu, maka tanpa ragu segera aku menerima tawarannya.
“Ahai, Rahul…Rahul, mengapa engkau bernama demikian? Lucu nian terdengar di telinga, seperti orang India,” kikiknya geli. Biar saja, aku tak tersinggung justru senang membuatnya gembira. Andai aku bisa bicara. Melihatnya begitu riang, aku dekatkan tubuhku padanya sehingga sedikit menyentuh lengannya yang halus laksana sutera. Terdengar Mia menggerung marah. Ia menatapku lurus dengan mata hijaunya. Oh, tidak! Apa yang sudah kulakukan? Sedikit kugeser tubuhku dengan kesal. Mengapa Mia marah sementara Nurlela tak keberatan?
“Mengapa engkau menggeram, Mia? Dia Rahul, kita sering jumpa dengannya, kan?” rayu Nurlela pada Mia. Kesal sekali aku dibuatnya. Mia memejam-mejamkan matanya nikmat karena elusan tangan Nurlela. Baiklah, aku harus bergerak cepat. Malam nanti, aku akan melagukan risalah cinta untuk Nurlela, tentu saja di bawah jendela kamar tidurnya, seperti kulihat Bang Zulham merayu Soraya. Dan kau, Mia, bersiaplah untuk menjadi yang kedua!
**********
Maka Kawan, seperti janjiku, malam ini aku mendatangi rumah Nurlela. Biar aku tak pandai bicara, tapi aku masih bisa bersuara. Setelah berdehem, aku mulai melagukan risalah cinta untuk Nurlela.
Aduhai, Nurlela kekasihku
Elok parasmu, elok budi bahasamu
Membuatku mabuk kepayang, jatuh hati tiada kepalang
Sudikah engkau menerima cintaku
Yang setinggi gunung dan seluas angkasa?
Aduhai…
Β Belum selesai aku melagu, sepasang sandal jepit melayang, diiringi sumpah serapah.
“Husy! Pergi kau, Kucing Garong! Suaramu buruk tak terkira!” Ayah Nurlela berteriak dari jendela.
*****
Words: 370
Tulisan ini untuk Monday FlashFiction Prompt #63 Si Mata Hijau
π
Wwkkwkk,…. makanya jangan kenceng2 π
hehehehe, kasian Rahul, kena lempar sandal. tapi ini udah ketebak dari kalimat “Andai aku bisa bicara.” π
Keren.. alurnya mengalir lancar dengan jenaka biarpun ceritanya ud ketebak..
Iyaa…gampang ketebak yaa hehehehe….
Kereeen.. alurnya mengalir lancar, jenaka pula.. biarpun cukup ketebak, tetep suka!
SMS aja Hul…. Rahul…. π spy ga berisik!
Lucu
Kucing garong vs kucing bermata hijau. π
kesian si Rahul hahahahaha
Duh Rahul kenapa bukan si Mia yang kau dengarkan risalah cinta, kan bisa bonusnya Nurlela π
Rupanya berima π
hahahahhahahaha
ah rahul mengapa pula kau paksa cintamu itu oada nurlela..
sudah ada Mia..
serakah kau, Rahul..
makan itu sandal jepit hahahha
salam kenal, Mbak
hihihi… lucu ceritanya. suka banget mbak. π
rahul salah strategi
hehehe…..ceritanya lucu. salam kenal ya bu
salam kenal dan persahabatan …
wkwkwkwk… lucu lucu lucu,
diksi yang berlagu mendayu buat seekor kucing ganjen. hehehe π
asiiik π
kucing gaul
Aku berasa larut dalam novelnya Andrea yg pemusik dibelitung ituh, he he.kocak nh
terharu saya bacanya hehhe
kalau di banyak cerita lain yang menjadikan tokoh kucing serupa manusia ; bisa bicara, bertingkah laku, dll, cerita ini menambahkan unsur lain : bisa bernyanyi. lucu juga, karena sering kita dengar kucing jantan yang mengeluarkan suara-suara ‘aneh’ seperti tengah bernyanyi. π
oh ya, ada dua hal yang mau kutanyakan.
1. di paragraf awal dikatakan ‘aku’ tak bisa bicara. di bagian akhir berubah menjadi ‘tak pandai bicara’. ada perbedaan besar antara ‘tak bisa’ dengan ‘tak pandai’, kan?
2. Bang Zulham dan Soraya itu siapa? Tiba-tiba muncul lalu menghilang. Seandainya sejak awal tak ada, barangkali pertanyaanku cuma satu, bukan dua. :p