Musim panas seharusnya saat ini. Tapi apa yang terjadi? Masiiih saja ada hujan mendadak di sore hari. Begitu juga beberapa hari lalu, baru saja sampai rumah dari bepergian, hujan turun dengan sangat derasnya. Gak sampai 30 menit, hujan berhenti dan langsung panas lagi. Maka gak heran jika banyak penyakit, belum lagi nyamuk yang buanyak minta ampun entah darimana datangnya. Endut-endut lagi π¦
Di hari yang gak jelas gitu kok tiba-tiba aku ingin makan rujak Yu Minah π Maka dengan semangat aku segera berjalan menuju warung Yu Minah. Warungnya tampak sepi, ku teriakkan salam dan segera duduk di bangku favorit.
“Sik bentar ya, Jeng!” teriak Yu Minah setelah menjawab salamku. Gak lama kemudian Yu Minah tergopoh-gopoh keluar. Sebagian rambutnya basah, juga daster putih empat sakunya 
“Kenapa, Yu? Kok basah-basahan gitu? Mandi basah yaa?” godaku.
“Husy! Wong lagi kena musibah gini. Dapur saya bocor, Jeng, bocor…bocor…,” keluhnya sambil mulai menyiapkan cobeknya yang segede Gaban, “mau berapa ni, Jeng?”
“Dua aja Yu, ulek satu sama serut satu. Pedes tapi gak banget.”
Yu Minah mulai menyiapkan bahan-bahan rujak sambil sesekali mengelap tetesan air dari rambutnya. Aku jadi kasihan.
“Gak manggil tukang, Yu, buat benerin bocornya?”
“Biar nanti Tole saja, Jeng. Saya sudah SMS Tole supaya hari Minggu nanti pulang. Nah tuh, HP saya bunyi. Maap, sebentar yo, Jeng.” Yu Minah segera mengelap tangannya dengan serbet lalu meraih ponsel di dekat keranjang buah. Lho, kok ponselnya berubah lagi? Belum lama kulihat jemari montoknya menari-nari dengan gagap di atas layar sentuh, ini kok kembali dengan Nokia jadulnya?
“Iyo Le, ndak papa…ndak…tadi sudah Ibu tadahin pake ember. Ho’oh….lumayan gede… yo wis gak papa, nanti Ibu manggil Mang Hadi aja. Iyo…baik-baik yo, Le…” Yu Minah meletakkan ponselnya dengan wajah sedih.
“Tole gak bisa pulang, hari Minggu ada jadwal ngasih les bahasa Inggris,” ujarnya sambil mulai memotong-motong buah dengan pisau tajamnya.
“Wah, hebat ya Si Tole,” gumamku sambil menahan liur mencium aroma nanas yang dipotong dengan jurus “Totokan Dua Jari Dewa Langit”.
“Eh, Yu, nomgong-ngomong ke mana HP canggih sampeyan yang putih itu?” tanyaku kepo.
“Wahh, saya ndak bisa makainya, Jeng. Pating clepret, mau nunul ini eh yang kepencet itu, malah gak karu-karuan. Mau saya jual saja, deh. Sampeyan mau?”
“Lha, HP baru kok dijual to, Yu? Kan, sayaang.”
“Gak baru-baru banget, kok. Ceritanya itu tadinya HP nya Bu RW, baru sebulan pakai ada keperluan keuangan, jadi ditawarkan ke saya. Yo wis, saya beli buat Tole. Eh, jebul Tole malah sudah punya yang lebih canggih, rupanya anak itu ngirit banget, uang bulanan dari saya ditabung lalu dibelikan apa itu, Jeng, tablet?” Yu Minah berbinar-binar menceritakan anak semata wayangnya yang penuh pengertian.
“Bu RW jual HP? Kok tumben, Yu?” tanyaku super duper kepo. Gimana gak kepo, Bu RW adalah orang yang berpenampilan paling wah di kompleks. Gelangnya berderet, cincinnya sepenuh jari, sasakannya lumayan tinggi (apa hubungannya, yak?
), dan terlebih lagi selalu nyumbang paling banyak kalo ada kegiatan sosial. Masa iya kesulitan keuangan?
“Ssstt, jangan bilang-bilang yo, Jeng,” bisik Yu Minah bernada gosip tingkat tinggi sambil tengok kanan kiri, “Katanya anggaran rumah tangganya bocor!” Waduh, apa maksudnya? Melihat wajahku yang polos bertanya-tanya, Yu Minah kembali membungkuk ke arahku melewati cobek penuh buah nan segar. Aku berdoa semoga tak ada muncratannya yang jatuh.
“Kabarnya, Bu RW terlibat bisnis berlian, tapi uangnya digelapkan sama temennya sendiri. Akhirnya uang tabungan keluarga tergerogoti, padahal Pak RW gak tahu tadinya. Terpaksa deh, Bu RW menjual apa yang bisa dijual untuk menutup hutang,” cerita Yu Minah sambil mulai membungkus rujakku. Kasihan juga, ya. Tapi menjual HP apa bisa menutup hutang ya?
“Yah, biarpun harganya gak terlalu mahal tapi menjual HP bisa menutup kebutuhan sehari-hari selama sebulan lah, gitu katanya. Emang sih, saya dipesen kalo dah gak suka jangan dijual, nanti kalo kondisi rumah tangganya sudah membaik, mau dibeli lagi. Tapi ngapainlah, mending saya jual sekarang aja kalo ada yang mau. Kalo nanti-nanti harganya makin jatuh,” lanjut Yu Minah sembari mengangsurkan bungkus rujak. Aku segera membayarnya.
“Tapi HP sebagus itu, kan lambang prestise ya, Yu? Kebanggaan, apalagi Pak RW juga pejabat, tentu lebih mudah berkomunikasi dengan istrinya. Juga pasti lebih hemat. Sekarang ini banyak layanan chatting murah bahkan gratis. Daripada nelpon, jatuhnya lebih mahal, kan?”
“Lha gimana, wong butuh, jeh? Kabarnya emas-emasnya juga sudah dijual duluan.” Jiyan, gosip hangat begini emang cuma bisa didapat di warung Yu Minah π Timbul keisenganku menggoda π
“Ya udah Yu, mendingan disimpen aja. Sayang kalo dijual. Apa jangan-jangan anggaran sampeyan juga bocor?”
“Wheeelhaadalaaahhh…. yang bocor itu genteng sayaa, Jeeeng! Memangnya bisnis saya segede apaaaa?”

Β
Β
Β