Dongeng insomnia · Fiksi Kilat · Iseng Aja

Sebuah Kisah Cinta

Seperti Kamis yang sudah-sudah, kau menungguku di ruang tamu. Berbaring di sofa dengan majalah kesukaanmu dan dua gelas martini untukmu dan untukku.

“Kau terlambat pulang, Sayang,” desahmu dengan wajah merajuk. Teringat pertama kali bertemu denganmu. Kau menyajikan margarita untukku dan temanku yang seketika tergoda melihat kecantikanmu yang luar biasa. Kau tak suka digoda, dan tanpa pikir panjang kukatakan pada temanku bahwa kau adalah kekasihku. Dan sejak saat itu kau memang menjadi kekasihku. Setiap Kamis malam, saat kau libur, kau akan menungguku untuk menghangatkan malam.

“Ada rapat mendadak tadi sore,” sahutku lalu duduk di hadapanmu. Kulonggarkan dasi yang terasa mencekik, lalu kusesap martini dingin itu.

“Ayo, ceritakan lagi kisah gadis itu.” Kau memiringkan tubuh menghadapku. Lekuk-lekuk tubuhmu, rambut ikat membingkai parasmu, luar biasa! Andai benar bidadari itu ada, kuyakin kau adalah salah satunya.

“Kau tak bosan?” tanyaku. Telah puluhan cerita kubualkan padamu, mengapa kau hanya tertarik pada kisah mengerikan itu?

“Mana mungkin bosan pada kisah seromantis itu. Ayolah!” Bulat matamu yang berpendar penuh harap serta bibir merah delima yang mendamba, mana mungkin bisa kutolak? Kuhela napas panjang lalu mulai bercerita.

              Alkisah, seorang gadis yang begitu rupawan …

“Cantik mana dia denganku?” tanyamu, selalu setiap kuawali kisah ini.

“Tentu saja kau lebih cantik, “ jawabku. Pipimu merona.

… menjadi incaran para pemuda, pria-pria tua, miskin, kaya. Hingga akhirnya dia jatuh hati pada seorang pemuda yang berwajah biasa saja pun tak kaya raya, namun sangat merdu rayunya. Setiap hari si pemuda selalu membawakannya setangkai mawar, atau jika tak ditemukannya, ia akan menggantinya dengan melati, lily, bahkan anyelir yang dicurinya dari kebun tetangga.

“Romantis sekali,” desahmu.

Hingga suatu hari si gadis menerima lamaran sang pemuda. Mereka menikah. Kebahagiaan selalu terpancar di antara mereka. Hingga beberapa lama kemudian, anyelir, melati, bahkan mawar tak mampu lagi membahagiakan si gadis. Sebab sang pemuda tak mengizinkannya keluar rumah. Si gadis dimanjakan dengan puisi, lagu-lagu, cinta yang tak terbatas, dengan segala rayuan penuh madu. Namun si gadis bosan, tak terbujuk. Ia merindukan teman-temannya, merindukan taman kota di pagi hari, atau kerlip lampu jalanan di malam hari.

“Aku selalu menyukai puisimu, terutama jika kau membacakannya untukku,” ujarmu sendu. Aku berdebar mendengar suaramu yang seperti alunan harpa dari surga. Kuteruskan kisahku, sebab tatapanmu menuntut demikian.

Pertengkaran pertama mulai terjadi. Kemudian lagi, lagi, lagi, dan lagi. Si pemuda marah pada keinginan si gadis. Tak seharusnya ia membagi miliknya pada orang lain, bahkan pada kedua orang tuanya sekalipun. Maka, pada suatu malam, ketika si gadis tertidur, sang pemuda membekapnya dengan bantal hingga napas si gadis tersengal dan akhirnya mati.

Uhh, kasihan,” bisikmu, selalu pada bagian itu.

Pemuda itu menangis sejadi-jadinya. Kemudian ia mendandani si gadis dengan gaun terindahnya, meriasnya dengan penuh kasih lalu mengawetkannya. Kini, si gadis menjadi miliknya seutuhnya. Setiap hari ia membacakan puisi, mengidungkan lagu-lagu cinta, membisikkan kata-kata indah pada istrinya yang tak lagi bisa merengek.

Kuakhiri kisahku dengan menenggak isi gelasku hingga tandas. Tak seperti biasanya, kau terdiam, bahkan menitikkan air mata. Aku terkejut. Kau begitu tak biasa malam ini.

“Kau menangis?”

“Maaf, kisah itu begitu romantis, aku terhanyut,” jawabmu. Aku pindah duduk di sampingmu, membelai pipi ranummu, lalu kukecup bibirmu. Sekali lagi aku heran, sebab kau tak membalas ciumanku. Bahkan kau menatapku dengan pandangan kosong. Aku bergidik.

Arleta, apakah kau telah menyadari, bahwa gadis dalam cerita itu adalah dirimu?              

Dongeng insomnia · Iseng Aja · Nimbrung Mikir · Serial Yu Minah

YM: Kura-kura & Covid-19

Siang tadi aku menyambangi warung Yu Minah. Malas sebetulnya, apalagi dengan kondisi saat ini yang seharusnya di rumah aja, gak ke mana-mana. Tapi ngantuk yang tak tertahankan membuatku melangkah juga. Kok gak tidur aja? Gini, Kawan, sebisa mungkin kuhindari tidur siang. Sebab tidur siang membuatku mimpi buruk, disorientasi, dan mumet ketika bangun. Ngeselin yah? (Jelas pencitraan, wong hari Minggu kemarin tidurku pules biyanget :mrgreen: )

Sesampai warung Yu Minah kudapati hal yang agak aneh. Kursi favoritku diletakkan jauh dari “meja kerja” Yu Minah. Begitu juga kursi-kursi tunggu yang lain diatur berjauhan. Belum sempat menyerukan salam, Yu Minah sudah berteriak dari dalam.

“Jeengg, kok lama banget ndak ke siniii? Memangnya ndak rindu sama saya, to?” Idihh!

Sosok montok itu keluar dan aku nyaris tertawa melihat penampilannya. Daster masih bunga-bunga, tapi wajahnya tertutup masker dan face shield seperti buatan sendiri.

“Sampeyan duduk situ, Jeng, jauhan dikit. Sosial distensing, kata Pak RW!” Ish, kemayu banget! Aku segera duduk di kursi favorit.

“Rujak satu, Yu, puedess!” kataku ketus sambil menyambar koran langganan Yu Minah, Mbogor Minggir Dikit Pos.

“Tumben minta pedes, Jeng? Ehh, saya pake gini biar aman yo, Jeng,” ujarnya. Aku hanya berdehem Sesungguhnya aku bersyukur, sebab mengurangi resiko muncratan Yu Minah hihihihi…

“Jeng… tau, nggak?” tanyanya berretorika sembari menggerus bumbu-bumbu dengan tenaga Thor-nya yang luar biasa. “Itu, katanya anggota DPR mau periksa corona rame-rame?”

Nahh, sebentar lagi pasti ceramah, deh! Aku masih membolak-balik halaman koran.

“Kok ndak tau malu ya, Jeng? Mestinya kan, mendahulukan rakyat, dong. Kok malah cari selamat sendiri! Memangnya dapat darimana itu rapid tesnya?” Sudah gak heran aku mendengar Yu Minah mengucapkan kata-kata asing begitu. Sejak punya ponsel canggih dari Thole, Yu Minah memang semakin cerdas dan sok tau.

“Katanya sumbangan, Yu,” sahutku asal. Pandanganku beralih ke tangan Yu Minah yang mulai memotong buah dengan jurus “Tebasan Dewi Seribu Pedang”. Baru kusadari ternyata Yu Minah juga mengenakan sarung tangan karet.

“Lho, biar sumbangan kan, mestinya untuk orang yang membutuhkan. Mereka itu ngerti ndak to, Jeng, kalo tes corona itu ya buat orang bergejala atau ada keluhan. Untuk tenaga medis yang kemungkinan besar tertular. Orang sehat ngapain dites? Keliatannya pinter tapi kok gak cerdas gitu!”

Aku mengangkat bahu,”Masa iya gak pinter, Yu. Kalo gak pinter kan, gak mungkin duduk di sana.”

“Lha nyatanya? Mana anak istri mau dites juga. Berapa itu totalnya? Sementara masih banyak orang yang perlu malah gak bisa tes. Belum lagi kalo istrinya dua. Apa mau ikut dites?”

“Kan, yang diitung istri yang sah, Yu.”

“Hiihh, mana tau? Mereka itu kan, pinter cari celah.” Yu Minah mulai membungkus rujakku.

“Tadi katanya gak pinter?”

“Yaa nganu, dalam hal tertentu pinter tapi dalam banyak hal gak pinter.” Memang Yu Minah ini mau menangnya sendiri. Aku menyiapkan uang pembayaran.

“Lagian Yu, ngapain sampeyan heboh, wong gak jadi kok tesnya,” gumamku.

“Woohhh, gak jadi to? Ya syukur deh, itu baru pinter namanyaa. Saya kira jadi hihihihihi…. tiwas emosi saya ihik…. ihik…..”

Kuserahkan uang pas untuk membayar rujaknya, “Sampeyan emang gampang emosi kok, Yu.”

“Eitss, jangan bayar pake uang, Jeng. Pakai OVO aja atau apa gitu. Kan, mengurangi resiko penularan.”

“Hahh? Saya gak punya gitu-gituan, Yu, ini adanya uang pas,” ujarku emosi. Sejak kapan Yu Minah terima uang digital?

“Lhooo, jangan emosi to, Jeng. Taruh saja uangnya di situ, wong saya juga gak ngerti OVO-OVOan gitu, kok.”

“Hah? Gimana sih, Yu? Trus ngapain tadi nyuruh bayar bayar pake OVO?”

“Yaa biar kekiniaan, kayak super market itu, Jeng, suruh bayarnya jangan pakai uang hahahahahaha….. Sampeyan ketipuuuuuu. Hahahhaha ….,” gelak Yu Minah terdengar ngeselin banget. Kuambil rujakku dengan kasar lalu pura-pura bersin di dekat Yu Minah yang refleks mundur menjauh.

“WAAAAA …. JEEEENGGGG!”

Kutoleh ke belakang. Yu Minah panik mengibaskan tangannya di udara lalu menyemprotkan entah apa ke segala penjuru. Aku tertawa menang :mrgreen:

Dongeng insomnia · Iseng Aja · Serial Yu Minah

Jual BB

image

Selama bulan puasa ini, Yu Minah hanya buka sore hari sekitar jam empat. Di hari Sabtu atau Minggu ramainyaa minta ampun. Mending aku gak beli daripada harus berebut antrian sama ibu-ibu. Terlebih jika melihat Yu Minah dengan goyang ulekannya, hih mending gak, deh! Takut sama “tetesan-tetesannya” 😅

Nah, sore ini kebetulan aku pulang cepat dan langsung bertengger di warung Yu Minah.

“Tumben sepi, Yu?” tanyaku setelah mengucap salam dan duduk di bangku favorit.

“Sampeyan beruntung, Jeng. Sebentar lagi ndak bakal kebagian, lho,” sahutnya. Hih, sombongnyaaa. Tapi betul sih, apa yang dikatakannya. “Ini pesennya biasa, Jeng?”

“Iyaa, rujak ulek pedes tapi gak banget.”

Bosan melihat ketangkasan Yu Minah mengolah sambal dan mengiris buah yang bak pesilat memainkan jurus “Pedang Sakti Pembelah Langit dan Penggerus Bumi”, aku melihat sekeliling.

Mataku tertumbuk pada sebuah kardus dengan isi yang nyaris tumpah. Botol-botol bekas, bekas bungkus makanan lalu kaleng-kaleng entah bekas apa. Terheran-heran aku menjulurkan leher agar bisa melihat lebih jelas.

“Yu, sampeyan punya kerja sambilan?”

“Hah? Yo ndaklah, Jeng. Keahlian saya ya cuma bikin rujak, ” sahutnya heran. Nanas itu sungguh nyaris lumat dalam pisau saktinya. “Memangnya kenapa?”

“Itu ngumpulin barang bekas? Kukira nyambi jadi pemulung hihihihi ….”

“Sampeyan iniii. Itu kan, idenya Bu RT buat ngumpulin barang bekas, Jeng. Lalu nanti setiap bulan dikumpulkan dan dijual. Uangnya masuk kas buat tambah-tambah biaya piknik RT. Gituuu ….”

“Ooo, dijual ke mana, Yu?”

“Ndak tahu. Sepertinya Bu RT sudah punya langganan pemulung yang suka mbawa gerobak itu.” Yu Minah sudah mulai membungkus rujakku.

“Kalau aku, Yu, gak bakalan mau.”

“Lho, kenapa? Hasilnya lumayan, lho, Jeng! Ditambah lagi, tempat sampah di luar jadi ndak diaduk-aduk pemulung.”

“Nah! Itu … itu kenapa aku gak mau!” ujarku sembari mencari-cari uang pas dalam dompet. “Itu namanya sampeyan menutup rejeki orang, Yuu!”

“Kok nutup rejeki, to? Ah, sampeyan ini aneh!”

“Gini, lho, Yuu. Kalau sampeyan buang barang-barang bekas itu ke tempat sampah, tentu akan menjadi rejeki buat pemulung. Lha kalo dijual, iya sih, mungkin sama-sama ke pemulung yang “bermodal”, mereka yang hidupnya dari mengais sampah tentu gak bisa mendapat jatah. Sementara apalah artinya receh itu buat ibu-ibu kompleks, apalagi pengusaha sukses macam sampeyan ini.”

Yu Minah terdiam, bahkan sepertinya tidak sadar dengan sindiranku 😆

“Iya ya, Jeng. Kasihan juga mereka yang tiap hari mengais sampah lalu ndak menemukan barang yang mereka harapkan. Kok tumben sampeyan bijak banget gini, Jeng? Pasti pengaruh bualan puasa, ya?” Sial! 😬

“Ehh, tapiii … nanti sampahnya berantakan lagi, Jeng!” Ujarnya lagi sembari mengangsurkan rujak padaku.

“Halah, Yuuu … ya tinggal disapu, itung-itung olah raga biar langsingan dikit gitu, lhooo …!”

“Wheladhalaaahhh, Jeeeeng, lha wong ngulek saja kan, sudah olah ragaaaa!”

😆

Dongeng insomnia · Serial Yu Minah

(Ini)(sial)

Siang antara mendung dan panas membara. Seperti udara panas yang terjebak dalam toples dengan aku berada di dalamnya. Halah … halah … mau beli rujak ke warung Yu Minah aja pake panjang lebar! Yah, sebetulnya bukannya aku gak pernah ke warung Yu Minah. Aku hanya gak menceritakan obrolanku saja. Makin hari Yu Minah makin lebay, sih. Segala macam berita dilahapnya lalu diceritakan kembali dengan semena-mena menurut versinya. Memang yang nonton atau baca berita cuma dia? Sebab itulah aku jarang menceritakannya kembali. Murni opini Yu Minah yang berlagak macam pengamat politik saja. Hahaha.

Warungnya tampak sepi dalam cuaca begini. Tapi aku butuh rujak serut untuk didinginkan dalam lemari es. Seperti biasa aku meneriakkan salam dan duduk di bangku favorit.

“Lho, Jeng, ndak ngantor, to?” tanya Yu Minah setelah menjawab salamku.

“Nggak, Yu. Cuti. Buatkan rujak serut ya, seperti biasa pedes tapi gak banget,” jawabku sembari menyambar koran langganan Yu Minah. Wuidih, DL nya masih membahas soal inisial artis-artis yang terlibat prostitusi.

“Media itu curang ya, Jeng?” tanya Yu Minah tiba-tiba. Ulekannya yang menggemparkan meja benar-benar melumat dengan sadis cabai dan kawan-kawannya.

“Curang kenapa, Yu?”

“Lha itu, artis-artis yang diduga terlibat prostitusi itu semuanya pakai inisial nama. Kan, bisa menimbulkan fitnah!”

“Ya kan, masih jadi saksi, Yu, belum terdakwa.”

“Tapi menimbulkan fitnah! Itu yang inisial AA itu, Ahmad Albar, kan?” Hah? Aku terbahak sampai nyaris terguling dari kursi.

“Sampeyan ini, Jeng, kalau diajak bicara mesti gitu, ndak pernah serius. Lucunya di mana, coba?” omel Yu Minah. Jurus “Dewi Gunung Menebas Rumpun Bambu” membuat buah-buahan itu teriris menjadi batang-batang lembut. Ngeri juga.

“Sampeyan ya aneh kok, Yu! Masak iya Ahmad Albar?”

“Itu maksud saya, Jeng. Ngapain pakai inisial? Coba sampeyan perhatikan, kalau kasus korupsi, prostitusi artis, pasti nama diinisialkan. Mestinya sebutkan saja, supaya masyarakat jelas, ndak nuduh macam-macam pada orang yang mirip namanya. Jangan sampai nanti ada yang inisialnya sama malah ke-GR-an terus pakai nuntut-nuntut media. Nambah kisruh to? Hanya karena mau numpang ngetop? Dan lagi kan, bisa membuat efek malu. Wong keduanya memang memalukan!” Nah, kalau sudah ngomel begitu, aku memilih diam. Pura-pura baca.

“Gini lho, Jeng, kemarin itu ada juga berita dari Aceh. Sepasang kekasih terlihat berduaan atau bermesraan, ndak tahu mana yang benar, dijatuhi hukum cambuk. Tahu, nggak …?”

“Nggaaak …,” potongku hihihihi.

“Makanya saya beri tahu! Nama keduanya disebutkan dengan jelas tanpa I-N-I-S-I-A-L! Nah!” Yu Minah mulai mengaduk rujak serutku. Sumpah, aku kuatir! Semburannya itu lho, moga-moga gak masuk ke rujakku.

“Mungkin karena sudah terbukti bersalah, Yu.”

“Ah, saya ndak setuju. Kalau soal nama sebutkan saja, toh masyarakat pasti juga menebak-nebak. Apalagi sudah tertangkap tangan. Kalau di bawah umur sih, silakan saja disamarkan. Masa giliran pesohor, pejabat, pengusaha nama diinisialkan. Giliran rakyat biasa, maling ayam, nama dijembreng sepanjang rel sepur!”

Fiuh, untunglah rujakku sudah mulai dibungkus. Kalau gak, bisa sampai sore mendengar Yu Minah ngoceh. Aku meletakkan koran untuk mengambil uang. Tapi …

“Lho, Yu, ini ada inisial YM, kira-kira siapa, ya?”

“YM? Ah, ndak pernah dengar ada artis namanya gitu,” sahut Yu Minah sambil mengangsurkan bungkus rujak padaku.

“Ini lho, beritanya. Nih, tak bacain, ya. Tertangkap lagi seorang mucikari berinisial YM. Sehari-hari beroperas di warung rujak di daerah Bogor.”

“Wheeelhaadaaalllaaahhhh, sampeyan iniii, Jeeeeengg, ndak sopaaaannn!”

Aku terbirit-birit :mrgreen:

Yu_Minah_1
YM

Dongeng insomnia · Iseng Aja

Lukisan Cinta, Episode 20 (revised edition)

Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kelambatan penulisan Lukisan Cinta ini 😀 Tulisan yang ini selain untuk mengingatkan kisah sebelumnya, juga untuk menunjukkan penambahan kisah yang sebelumnya belum ada 😀 Monggo silakan dinikmati 😉

BAB LIMA
KARANG

“Sesungguhnya karang marah pada samudera
Mengapa selalu mengempas dan mengikis?
Menyisakan bilur-bilur pedih siksa dera?
Namun karang menerima takdirnya tanpa tangis”

    Rini bersimpuh di depan tanah merah penuh bunga itu dengan mati rasa. Pelayat terakhir baru saja berlalu dengan sedu sedannya. Rini bahkan tak tahu lagi, siapa yang datang, siapa yang memeluknya, siapa yang terus menerus membisikkan kata penghiburan. Semua bagaikan dengungan lebah di telinganya, mengganggu namun tak bisa diusir. Ia hanya ingin berdua saja dengan Elang, meski bocah kecil itu tak lagi tampak mata.

   Elang, Elang, di mana kau, Nak? Mengapa tak kau jawab panggilan Mama? Gelapkah di dalam sana, Nak? Takutkah kau, Nak? Dinginkah? Jangan takut, Sayang, Mama di sini. Mama selalu ada untukmu, Sayang. Boboklah nyenyak, Nak, Mama sayang sekali sama Elang. Elang…Elang…

Lanjutkan membaca “Lukisan Cinta, Episode 20 (revised edition)”

Dongeng insomnia · Fiksi Kilat · Nimbrung Mikir

Kutukan Eiffel

Berada di Paris adalah mimpi dalam mimpiku. Tidak terbayang sama sekali! Aku harus berterimakasih pada Adrian, putra mahkota pemilik jaringan rumah sakit besar tempat aku bekerja. Hanya karena asistennya tidak jadi ikut, maka aku yang harus mendampinginya menghadiri konferensi dokter bedah kosmetik seluruh dunia. Sayangnya, Adrian ini selain tampan, kaya raya, namun sombongnya tidak tahan! Sepanjang konferensi aku selalu menghindarinya, lebih baik berteman dengan para dokter dari seluruh belahan dunia, meski aku hanyalah dokter umum baru lulus.

Sayangnya, malam ini aku tidak bisa menghindarinya.

“Ini malam terakhir, aku mau kau ikut aku,” ujarnya. Ini bukan mengajak, tetapi bersabda.

“Ke mana, Dok?” tanyaku berusaha sesopan mungkin.

“Eiffel, tentu saja! Kau belum ke Paris kalau belum mengunjungi Eiffel!”

Yeah, siapa juga yang menolak? Setelah siang kemarin kami dan beberapa dokter kabur dari konferensi dan berjalan-jalan menyusuri Champ-Elysee, hingga ke Arc de Triomphe, setelah sebelumnya mengagumi senyum Monalisa di Museum Louvre.  Dan petangnya memandangi Katedral Notre Dame yang bergaya Gothic dengan Si Bongkok nya yang melegenda. Rupanya, Eiffel, tempat terindah ini menjadi destinasi kami di malam terakhir di Paris.

“Baiklah,” sahutku berusaha menyembunyikan gairah yang meletup-letup. Eiffel, I’m coming!

Dan malamnya, tak mampu aku berkata-kata melihat keindahan Eiffel. Menara besi itu seperti berselubung cahaya. Sungguh, ini tempat kaum pencinta.

“Mira, tahukah kau, mengapa kau yang kuajak ke mari?” bisiknya. Dingin menggigit, namun tiba-tiba pipiku memanas. Aku menggeleng lalu menatap matanya.

“Karena aku cinta kamu.” Jantungku melompat sampai puncak Eiffel!

“Maukah kau menjadi istriku?”

Aku tertunduk lalu mengangguk. Biarlah, meski harus menjadi yang kedua.

******

Words: 250, ikut giveaway Pesta Flash Fiction @NBC_IPB & @novellinaapsari

Dongeng insomnia · Serial Yu Minah

Kartu Sakti

Mendung menggantung sejak siang tadi, tapi hujan gak turun juga. Wah, sumuk nian. Kalo cuaca begini memang paling seger menyantap rujak serut Yu Minah yang sudah didinginkan 😋 Maka aku membuka kulkas, tapi sayang ternyata persediaan rujakku sudah habis 😢 Aku pun meluncur ke warung Yu Minah, semoga tidak sedang ramai.

Ah, untunglah tidak ramai. Tepat berpapasan dengan dua orang ibu yang berlalu membawa bungkusan rujak Yu Minah. Wajah mereka nampak keruh bahkan terlihat kesal. Mengapa, ya?

Setelah mengucapkan salam aku segera duduk di bangku favorit. Yu Minah yang sedang membereskan cobeknya membalas salamku dengan agak jutek juga. Ini kenapa, ya?

“Buatkan rujak serut, Yu, biasa pedes tapi gak banget.”

“Iya Jeng, jangan pesen yang pedes banget kayak ibu-ibu tadi. Wong cabe lagi mahal banget!” gerutu Yu Minah sembari menyiapkan bumbu sambal.

“Lho, memangnya kenapa, Yu?” tanyaku heran.

“Pelanggan itu kadang ndak mau ngerti, Jeng. Minta dibuatkan rujak yang pedes banget. Sudah tak kasih sak genggam cabenya eehh masih minta lagi. Kan saya jadi susah, memangnya ndak tahu apa, kalo cabe harganya lagi selangit?”

“Ooo, urusan cabe, to? Ya gimana lagi, Yu, kalau BBM naik ya pasti semua naik. Jangankan cuma cabe, kangkung aja pasti ikutan naik. Tapi kan, sudah ada kartu sakti, Yu, lumayan lah bisa memperingan hidup,” kataku sembari mengudap potongan bangkuang yang seger. Meski kali ini Yu Minah menggunakan jurus “Angin Topan Menggulung Gemunung”, aku masih bisa mencomot buahnya 😀

“Lhadallahh, kartu sakti yang mana, Jeng? Kartu Indonesia Pintar? Yo saya pasti ndak bakalan dapet, anak sudah kuliah, kok. Ndak tepat kartu yang itu buat saya! Kecuali kalo berlaku sampe anak kuliah juga digratisin. Untung saja Si Tole pinter cari duit tambahan, kalo ndak, bisa mumet saya.”

“Ya klo itu emang gak banyak membantu sih, Yu. Paling gak kan, ada kartu satu lagi, Kartu Indonesia Sehat. Lumayan Yu, bisa berobat gratis!”

“Gratis sih gratis, tapi antrinyaaaaa…ampuuunn… kalo cuma batuk pilek saya mending kerokan, Jeng,” gerutu Yu Minah sembari membungkus rujakku.

“Lha, masih ada satu kartu lagi, Yu. Kartu Keluarga Sejahtera, nah yang ini mungkin paling tepat buat masyarakat, ya?”

“Bisa jadi, tapi ada pakai SIM card segala, Jeng? Lha, kalo yang ndak punya HP, gimana? Mbok ya sekalian dikasih HP nya, ya, biar semakin meringankan. Lha, nanti uang bantuannya malah buat bayar utang beli HP? Hihihi…..”

“Sik..sik..sampeyan kok GR banget to, Yu? Kartu sakti tadi itu cuma buat golongan masyarakat miskin! Sampeyan kan, gak miskin! Masih bisa hidup enak, nguliahin anak!” 🙈

“Hah? Oh iya yaa…hehehe…tapi saya mangkel, Jeng, harga-harga sudah pada naik, padahal BBM aja belum jelas kapan naiknya! Saya jadi susah matok harga!” Yu Minah masih menggerutu sembari mengangsurkan bungkus rujak padaku. Aku segera memberinya uang pas.

“Eh, maaf Jeng, harganya sudah naik,” ujarnya malu-malu.

“Lho? Masa tiap tahun naik, Yu? Mau naik jadi berapa ini?” omelku kaget.

“Cuma nambah dua ribu saja, Jeng.”

“Wah Yu, tahu gak, rujak sampeyan ini rujak paling mahal sak Bogor! Malah mungkin sak Indonesia Raya!” gerutuku kesal sambil mencari-cari uang di dompet.

“Lha, gimana lagi? Kalo harga ndak naik tapi porsi dikurangi, pelanggan ngomel. Kalo harga ndak naik, saya yang rugi, Jeng!” Aku diam saja dan menyerahkan selembar uang dua ribu. Lain kali pikir-pikir deh, mahal banget!

“Jangan cemberut, Jeng. Wis, nanti tak kasih KSYM!”

“Apa itu?” tanyaku masih kesal.

“Kartu Sejahtera Yu Minah, ada banyak diskon di situ. Khusus pelanggan setia kayak sampeyan saya kasih gratis kartunya! Nah, jangan marah lagi yaaa….”

Dih! 😤

kartu diskon YM2

Dongeng insomnia · Fiksi Kilat · Nimbrung Mikir

Bisul

sumber

“Pokoknya akhir bulan ini bantaran sungai itu harus sudah bersih! Jangan jadi bisul di tengah kota!” Pak Kada berteriak-teriak di ruang kerjanya. Seluruh staf ketakutan.

“Tapi, Pak…rusun tak bisa menampung mereka lagi,” kata seorang di antaranya.

“Kasih duit aja buat pulang kampung! Atur, dong!”

***************

Akhirnya, cita-cita Pak Kada menjadikan bantaran sungai menjadi seindah San Antonio River Walk terwujud. Para investor pendukung memujinya. Pembangunan apartemen mewah di sekitar sungailah tujuan utama. Apapun, Pak Kada sukses. Seluruh media cetak dan elektronik memujanya.

Dan pagi ini, Bu Kada berteriak histeris melihat suaminya terbaring penuh bisul di sekujur tubuhnya. Merah, besar dan bernanah!

****************

Words: 100

Yuuk, ikutan MFF Prompt #67: On the Riverside 😉

Dongeng insomnia · Serial Yu Minah

Ksatria Kuda Putih

Jika kau berkantor di Jakarta, Kawan, maka sebaiknya hari ini gak usah ngantor dulu. Karena hari ini adalah hari besar bangsa Indonesia. Kau tahu, kan? Wong aku saja yang berkantor di Jababeka ikutan gak masuk hahahaha… 😛

Daripada bengong di rumah, dan kebetulan sehubungan dengan acara dietku yang gak makan nasi, maka aku ngabur ke warung Yu Minah. Panas-panas gini enaknya nyruput rujak serut 😀

Setelah meneriakkan salam, aku langsung memilih bangku favorit dekat cobek Yu Minah yang segede Gaban itu.

“Lho, tumben ndak ngantor, Jeng?” tanya Yu Minah setelah membalas salamku.

“Mau ikut pesta rakyat, Yu. Biasa ya, buatkan rujak ulek pedes tapi gak banget.”

Lanjutkan membaca “Ksatria Kuda Putih”