Dongeng insomnia · Fiksi Kilat · Iseng Aja

Sebuah Kisah Cinta

Seperti Kamis yang sudah-sudah, kau menungguku di ruang tamu. Berbaring di sofa dengan majalah kesukaanmu dan dua gelas martini untukmu dan untukku.

“Kau terlambat pulang, Sayang,” desahmu dengan wajah merajuk. Teringat pertama kali bertemu denganmu. Kau menyajikan margarita untukku dan temanku yang seketika tergoda melihat kecantikanmu yang luar biasa. Kau tak suka digoda, dan tanpa pikir panjang kukatakan pada temanku bahwa kau adalah kekasihku. Dan sejak saat itu kau memang menjadi kekasihku. Setiap Kamis malam, saat kau libur, kau akan menungguku untuk menghangatkan malam.

“Ada rapat mendadak tadi sore,” sahutku lalu duduk di hadapanmu. Kulonggarkan dasi yang terasa mencekik, lalu kusesap martini dingin itu.

“Ayo, ceritakan lagi kisah gadis itu.” Kau memiringkan tubuh menghadapku. Lekuk-lekuk tubuhmu, rambut ikat membingkai parasmu, luar biasa! Andai benar bidadari itu ada, kuyakin kau adalah salah satunya.

“Kau tak bosan?” tanyaku. Telah puluhan cerita kubualkan padamu, mengapa kau hanya tertarik pada kisah mengerikan itu?

“Mana mungkin bosan pada kisah seromantis itu. Ayolah!” Bulat matamu yang berpendar penuh harap serta bibir merah delima yang mendamba, mana mungkin bisa kutolak? Kuhela napas panjang lalu mulai bercerita.

              Alkisah, seorang gadis yang begitu rupawan …

“Cantik mana dia denganku?” tanyamu, selalu setiap kuawali kisah ini.

“Tentu saja kau lebih cantik, “ jawabku. Pipimu merona.

… menjadi incaran para pemuda, pria-pria tua, miskin, kaya. Hingga akhirnya dia jatuh hati pada seorang pemuda yang berwajah biasa saja pun tak kaya raya, namun sangat merdu rayunya. Setiap hari si pemuda selalu membawakannya setangkai mawar, atau jika tak ditemukannya, ia akan menggantinya dengan melati, lily, bahkan anyelir yang dicurinya dari kebun tetangga.

“Romantis sekali,” desahmu.

Hingga suatu hari si gadis menerima lamaran sang pemuda. Mereka menikah. Kebahagiaan selalu terpancar di antara mereka. Hingga beberapa lama kemudian, anyelir, melati, bahkan mawar tak mampu lagi membahagiakan si gadis. Sebab sang pemuda tak mengizinkannya keluar rumah. Si gadis dimanjakan dengan puisi, lagu-lagu, cinta yang tak terbatas, dengan segala rayuan penuh madu. Namun si gadis bosan, tak terbujuk. Ia merindukan teman-temannya, merindukan taman kota di pagi hari, atau kerlip lampu jalanan di malam hari.

“Aku selalu menyukai puisimu, terutama jika kau membacakannya untukku,” ujarmu sendu. Aku berdebar mendengar suaramu yang seperti alunan harpa dari surga. Kuteruskan kisahku, sebab tatapanmu menuntut demikian.

Pertengkaran pertama mulai terjadi. Kemudian lagi, lagi, lagi, dan lagi. Si pemuda marah pada keinginan si gadis. Tak seharusnya ia membagi miliknya pada orang lain, bahkan pada kedua orang tuanya sekalipun. Maka, pada suatu malam, ketika si gadis tertidur, sang pemuda membekapnya dengan bantal hingga napas si gadis tersengal dan akhirnya mati.

Uhh, kasihan,” bisikmu, selalu pada bagian itu.

Pemuda itu menangis sejadi-jadinya. Kemudian ia mendandani si gadis dengan gaun terindahnya, meriasnya dengan penuh kasih lalu mengawetkannya. Kini, si gadis menjadi miliknya seutuhnya. Setiap hari ia membacakan puisi, mengidungkan lagu-lagu cinta, membisikkan kata-kata indah pada istrinya yang tak lagi bisa merengek.

Kuakhiri kisahku dengan menenggak isi gelasku hingga tandas. Tak seperti biasanya, kau terdiam, bahkan menitikkan air mata. Aku terkejut. Kau begitu tak biasa malam ini.

“Kau menangis?”

“Maaf, kisah itu begitu romantis, aku terhanyut,” jawabmu. Aku pindah duduk di sampingmu, membelai pipi ranummu, lalu kukecup bibirmu. Sekali lagi aku heran, sebab kau tak membalas ciumanku. Bahkan kau menatapku dengan pandangan kosong. Aku bergidik.

Arleta, apakah kau telah menyadari, bahwa gadis dalam cerita itu adalah dirimu?              

Biar basi tetep lucu · Fiksi Kilat · Ketawa dulu

M&M: Lem Tikus

M&MMenil:  Iiiiiiyyy, tikuuuusss! Nuuuull, ada tikusss! Tolooongg!!!

Menul: Idiihh, lebay banget sih? Itu kan, ada lem tikus, udah aku beli dari bulan lalu.

Menil: Aku takuut, lagian gak tau cara pakainya.

Menul: Gampang bangeeett! Kamu tangkapin dulu tikusnya, lalu olesi dengan lem. Kalo udah, lepasin, deh! Gak bakalan kabur diaa.

Menil: HAHH?? *+&%#(*&^*&^#(*&

         

Dongeng insomnia · Fiksi Kilat · Nimbrung Mikir

Kutukan Eiffel

Berada di Paris adalah mimpi dalam mimpiku. Tidak terbayang sama sekali! Aku harus berterimakasih pada Adrian, putra mahkota pemilik jaringan rumah sakit besar tempat aku bekerja. Hanya karena asistennya tidak jadi ikut, maka aku yang harus mendampinginya menghadiri konferensi dokter bedah kosmetik seluruh dunia. Sayangnya, Adrian ini selain tampan, kaya raya, namun sombongnya tidak tahan! Sepanjang konferensi aku selalu menghindarinya, lebih baik berteman dengan para dokter dari seluruh belahan dunia, meski aku hanyalah dokter umum baru lulus.

Sayangnya, malam ini aku tidak bisa menghindarinya.

“Ini malam terakhir, aku mau kau ikut aku,” ujarnya. Ini bukan mengajak, tetapi bersabda.

“Ke mana, Dok?” tanyaku berusaha sesopan mungkin.

“Eiffel, tentu saja! Kau belum ke Paris kalau belum mengunjungi Eiffel!”

Yeah, siapa juga yang menolak? Setelah siang kemarin kami dan beberapa dokter kabur dari konferensi dan berjalan-jalan menyusuri Champ-Elysee, hingga ke Arc de Triomphe, setelah sebelumnya mengagumi senyum Monalisa di Museum Louvre.  Dan petangnya memandangi Katedral Notre Dame yang bergaya Gothic dengan Si Bongkok nya yang melegenda. Rupanya, Eiffel, tempat terindah ini menjadi destinasi kami di malam terakhir di Paris.

“Baiklah,” sahutku berusaha menyembunyikan gairah yang meletup-letup. Eiffel, I’m coming!

Dan malamnya, tak mampu aku berkata-kata melihat keindahan Eiffel. Menara besi itu seperti berselubung cahaya. Sungguh, ini tempat kaum pencinta.

“Mira, tahukah kau, mengapa kau yang kuajak ke mari?” bisiknya. Dingin menggigit, namun tiba-tiba pipiku memanas. Aku menggeleng lalu menatap matanya.

“Karena aku cinta kamu.” Jantungku melompat sampai puncak Eiffel!

“Maukah kau menjadi istriku?”

Aku tertunduk lalu mengangguk. Biarlah, meski harus menjadi yang kedua.

******

Words: 250, ikut giveaway Pesta Flash Fiction @NBC_IPB & @novellinaapsari

Dongeng insomnia · Fiksi Kilat · Nimbrung Mikir

Bisul

sumber

“Pokoknya akhir bulan ini bantaran sungai itu harus sudah bersih! Jangan jadi bisul di tengah kota!” Pak Kada berteriak-teriak di ruang kerjanya. Seluruh staf ketakutan.

“Tapi, Pak…rusun tak bisa menampung mereka lagi,” kata seorang di antaranya.

“Kasih duit aja buat pulang kampung! Atur, dong!”

***************

Akhirnya, cita-cita Pak Kada menjadikan bantaran sungai menjadi seindah San Antonio River Walk terwujud. Para investor pendukung memujinya. Pembangunan apartemen mewah di sekitar sungailah tujuan utama. Apapun, Pak Kada sukses. Seluruh media cetak dan elektronik memujanya.

Dan pagi ini, Bu Kada berteriak histeris melihat suaminya terbaring penuh bisul di sekujur tubuhnya. Merah, besar dan bernanah!

****************

Words: 100

Yuuk, ikutan MFF Prompt #67: On the Riverside 😉

Dongeng insomnia · Fiksi Kilat · Nimbrung Mikir

Lelaki Tua di Tengah Gerimis

Sumber: Dokumentasi Pribadi Rinrin Indrianie

Rinai telah berganti gerimis, menyisakan udara lembap yang menggantung, khas iklim tropis. Namun lelaki renta itu tak peduli, meski basah bajunya karena hujan dan keringat, ia kembali menuntun sepedanya yang sarat dengan rumput. Senyum terukir di wajahnya, semakin mempertegas keriput yang merata di seluruh wajah, seperti ombak yang menjilat bibir pantai. Teringat celoteh cucunya yang selalu menerbitkan bahagia.

“Aku pasti cantik pakai baju itu, Mbah Kung*),” cerianya ketika melewati toko baju di pasar. Tangan mungilnya menunjuk baju pink dari bahan kaus, bergambar lima orang putri terkenal dari negeri dongeng.

“Pasti, Nduk,” jawab lelaki renta itu tersenyum.

“Mbah Kung, belikan baju itu buatku, ya.”

“Iya, nanti kalau Mbah Kung dah punya uang, ya.”

“Ya, Mbah.” Percakapan itu seperti kaset rusak yang berhenti pada satu lirik saja, setiap ada pinta selalu ada janji yang tak pernah bisa ditepati. Namun sang cucu tak pernah menuntut kembali. Entah lupa entah mengerti.

Tapi kali ini lelaki renta itu telah menyisihkan pendapatan untuk mewujudkan keinginan cucu semata wayangnya. Hari ini, ia membawa sebanyak mungkin rumput untuk sapi-sapi sang juragan. Setidaknya uang yang didapatnya akan lebih dari biasa. Sedih bila mengingat nasib cucu cantiknya. Ibunya mati ketika melahirkannya. Bapaknya sudah pergi sejak ia masih bayi merah. Hanya lelaki itu dan istrinya yang ada. Tapi setahun lalu istrinya pun telah pergi untuk selamanya.

“Malang nasibmu, Nduk. Mbah Kung akan menjagamu sampai habis umur Mbah mu ini.” Sering ia ucapkan kata itu ketika mengusap dahi cucunya yang lelap di malam hari. Terkadang lelaki itu menangis tanpa air mata.

Semakin berat terasa sepedanya, namun entah mengapa semakin ringan hati membayangkan cucunya bahagia.

“Aku pusing, Mbah Kung,” keluh gadis kecil yang selalu ceria itu seminggu lalu. Lelaki renta itu memegang dahi cucunya.

“Agak panas, Nduk. Kamu ndak usah ikut Mbah Kung, ya. Istirahat saja di rumah.” Cucu penurut itu hanya mengangguk lalu berbaring di atas dipan tanpa kasur. Esoknya gadis kecil itu telah sembuh dari demam, meski dua hari kemudian demam lagi, lalu sembuh lagi.

Mungkin karena ia mendamba baju itu, demikian pemikiran sederhana sang kakek. Baju itu berharga empat puluh lima ribu. Hampir cukup uang ia kumpulkan, esok ia akan mengajak cucunya ke pasar.

“Kamu ingin sekali baju yang di pasar itu, Nduk?” tanyanya tadi pagi sebelum pergi. Demamnya sudah turun tapi masih lemas untuk ikut berkelana mencari rumput.

“Iya, Mbah, tapi udah ndak terlalu, kok. Aku ingin Mbah Kung di rumah saja hari ini, aku bosan sendirian,” keluh sang cucu.

“Mbah Kung harus kerja, Nduk Cah Ayu,” senyum lelaki renta itu penuh rahasia, “besok, kamu ikut Mbah Kung, ya. Nah, nanti makanlah bubur dan kecap di meja.”

Gubuk reyot dekat kandang sapi itu sudah di depan mata. Senyum semakin sumringah, menambah kerut-kerut indah di seluruh wajah. Ia menurunkan rumput di kandang lalu segera menemui juragan. Uang dua puluh ribu ia terima dengan kebahagiaan sepenuh hati.

“Nduk Cah Ayu, Mbah Kung pulang!” Dengan tertatih ia menghambur ke satu-satunya dipan di gubuk itu. Ah, cucunya tentu tertidur, lelah menunggunya.

“Nduk,” panggilnya lembut. Tangan keriputnya meraba pipi halus sang cucu. Dingin.

**********

Words: 499

Catatan:

*) Mbah Kung = Mbah Kakung = Kakek (bahasa Jawa)

Tulisan ini untuk Manday FlashFiction Prompt #65 Lelaki Tua di Tengah Gerimis

Dongeng insomnia · Fiksi Kilat · Nimbrung Mikir

Purnama

sumber

Senja semakin larut, penuh rasa bersalah aku mengikuti Gilang yang berjalan tergesa melewati jalan setapak.

Sorry, Lang, gara-gara aku kita tertinggal rombongan,” ujarku di antara napas memburu.

“Tenang saja,” sahutnya kalem.

Yeah, kami berdelapan bermaksud mendaki Merapi. Seharusnya sesore ini sudah tiba di pos pendakian dan mulai mendaki agar tepat terbit mentari kami sudah tiba di puncak. Tapi gara-gara perutku sakit, terpaksa aku ditinggal ditemani Gilang, kekasihku yang pendiam, ganteng, tapi baik hati. Heii, ini bukan modus! Memang perutku sakit sekali, mana sangka tiba-tiba aku mengalami dysmenorrhea?

Kini, malam benar-benar sempurna. Gilang menyalakan senternya, berusaha menembus malam.

“Untunglah malam ini purnama,” gumamku. Tiba-tiba Gilang menghentikan langkah sehingga aku menabraknya.

“Kita kembali saja, Liz, sudah jauh pula tertinggal,” katanya mengejutkan. Tentu saja aku protes.

“Heii, sudah sepertiga jalan begini. Ayo, ah!” Tanpa mengindahkan Gilang aku memimpin jalan di depan.

“Liz, berbahaya!”

“Apanya yang berbahaya?”

“Purnama!”

“Memangnya kenapa? Kau takut werewolf?” candaku. Dari kejauhan aku melihat tumpukan kayu yang menghalangi jalan. Nah, rupanya teman-teman meninggalkan tanda supaya kami tidak tersesat. Belum sempat melompati tumpukan kayu itu, aku terpana memandang cahaya yang menyerbu melewati pepohonan di atas kami.

Tiba-tiba tubuhku terasa aneh. Mataku tak lagi fokus, jalanku sempoyongan. Tumpukan kayu di depanku seperti berjalan-jalan. Samar, kulihat Gilang menyambar kayu paling besar dalam tumpukan itu.

“Jangan bergerak, Liz!” desisnya. Aku ketakutan. Aku merasa air liurku menetes-netes dan tubuhku panas. Demamkah? Belum sempat berpikir, kulihat Gilang mengayunkan kayu itu ke kepalaku.

“Maafkan aku, Liz.” Sempat kudengar Gilang berbisik sebelum aku jatuh berdebam. Aku merasa tubuhku begitu berat dan berbulu.

*********

Words: 260

Fiuuhh, wajar bila akan menuai kritik :mrgreen:

Yuukk, mareeee Prompt #64 Pile of Wood Stick di Monday FlashFiction 😉

 

Dongeng insomnia · Fiksi Kilat · Nimbrung Mikir

Risalah Cinta

Namanya Nurlela, pindahan dari Batavia. Cantiknya, amboi… tak tahan setiap pemuda dibuatnya. Ke mana-mana selalu membawa kucing lucu bernama Mia. Mengapa tak Si Manis atau Si Belang? Entahlah, coba saja kau tanya padanya. Layaknya pejantan, aku pun terpesona akan moleknya. Tapi seperti pungguk merindukan bulan tentu saja. Coba kau bayangkan, Nurlela begitu cantik, suaranya mendayu bila berkata-kata. Sementara aku bujang lapuk, tak pula bisa bicara. Seringkali aku iri hati pada Mia. Andai saja aku yang dipeluknya, dielusnya, dikecupnya.

Sore ini, seperti biasa kulihat Nurlela dan Mia duduk di beranda. Ragu kudekati pagar rumahnya. Lihat, Nurlela tengah berdendang dengan Mia pada pangkuannya. Iri, sungguh iri hati aku jadinya. Kucoba curi perhatian dengan berdiri pada tengah pagar. Ahai, tak sia-sia! Nurlela mendongak dan berseri wajahnya.

“Rahul, mari singgah,” serunya melagu. Berdebar dadaku namun segera kuhampiri pujaan hatiku. Nurlela menepuk-nepuk sebelahnya, tanda aku boleh duduk di sisinya. Ini yang kutunggu-tunggu, maka tanpa ragu segera aku menerima tawarannya.

“Ahai, Rahul…Rahul, mengapa engkau bernama demikian? Lucu nian terdengar di telinga, seperti orang India,” kikiknya geli. Biar saja, aku tak tersinggung justru senang membuatnya gembira. Andai aku bisa bicara. Melihatnya begitu riang, aku dekatkan tubuhku padanya sehingga sedikit menyentuh lengannya yang halus laksana sutera. Terdengar Mia menggerung marah. Ia menatapku lurus dengan mata hijaunya. Oh, tidak! Apa yang sudah kulakukan? Sedikit kugeser tubuhku dengan kesal. Mengapa Mia marah sementara Nurlela tak keberatan?

“Mengapa engkau menggeram, Mia? Dia Rahul, kita sering jumpa dengannya, kan?” rayu Nurlela pada Mia. Kesal sekali aku dibuatnya. Mia memejam-mejamkan matanya nikmat karena elusan tangan Nurlela. Baiklah, aku harus bergerak cepat. Malam nanti, aku akan melagukan risalah cinta untuk Nurlela, tentu saja di bawah jendela kamar tidurnya, seperti kulihat Bang Zulham merayu Soraya. Dan kau, Mia, bersiaplah untuk menjadi yang kedua!

**********

Maka Kawan, seperti janjiku, malam ini aku mendatangi rumah Nurlela. Biar aku tak pandai bicara, tapi aku masih bisa bersuara. Setelah berdehem, aku mulai melagukan risalah cinta untuk Nurlela.

Aduhai, Nurlela kekasihku
Elok parasmu, elok budi bahasamu
Membuatku mabuk kepayang, jatuh hati tiada kepalang
Sudikah engkau menerima cintaku
Yang setinggi gunung dan seluas angkasa?
Aduhai…

 Belum selesai aku melagu, sepasang sandal jepit melayang, diiringi sumpah serapah.

“Husy! Pergi kau, Kucing Garong! Suaramu buruk tak terkira!” Ayah Nurlela berteriak dari jendela.

*****

Words: 370

Tulisan ini untuk Monday FlashFiction Prompt #63 Si Mata Hijau

😉

Fiksi Kilat · Nimbrung Mikir

The Wedding

Prompt 62“Segera ganti gaunmu, Nat,” ujar Carol, pengiring pengantin yang paling muda.

“Biarkan sebentar, dia kan baru saja menikah,” gumam Jane, pengiring pengantin yang paling tua dari ketiganya. Natasha -sang pengantin- mendesah lirih.

“Mereka curiga tidak?” bisiknya.

“Gak akan! Usianya sudah delapan puluh tahun lebih, wajar kena serangan jantung!” gusar Carol, “segeralah ganti gaunmu dengan yang hitam!”

“Besok, setelah pemakaman, akan ada pembacaan wasiat. Kau yakin, aku ahli waris tunggal?” tanyanya.

“Seyakin jantung Paul sudah berhenti berdetak. Minggu lalu aku tidur dengan pengacaranya.” Jane mengikik geli.

“Baiklah, ayo kita ganti baju, Sisters!”

Setelah menarik napas panjang, Natasha membuang pot kecil yang tadinya berisi serbuk sianida ke sungai deras di bawah mereka.

 

********************

Words: 110

Edited (tanpa mengubah jumlah words) atas saran Vanda Kemala, thank youuu ^-^

Tulisan ini untuk Monday FlasFiction: Prompt #62: Hey Girls!

Sumber gambar: Monday FlashFiction

Dongeng insomnia · Fiksi Kilat · Nimbrung Mikir

Confession

sketsa oleh Carolina Ratri
sketsa oleh Carolina Ratri

Kami berlima duduk bergandengan tangan, mengelilingi sebuah meja bundar. Ruangan sangat gelap dan dingin. Satu-satunya penerangan hanya dari cahaya monitor laptop di tengah meja.

Lo yakin mau melakukannya, May?” tanya Devi. Ia yang akan memimpin upacara bertemu arwah ini. Tengkukku mulai meremang dan jantungku berlompatan.

“Batalkan saja, May. Ikhlaskan, biarkan dia tenang di sana,” bisik Anna di sebelahku. Ikhlas? Tentu saja aku ikhlas. Aku hanya tak kuasa menahan rindu yang menusuk ini, menghunjam hingga ke jantung, meracuni setiap hela nafasku, dan sakitnya tak tertahankan.

“Iya, May. Iihh, serem, nih!” Intan berujar dari seberang meja. Kutatap sahabatku satu per satu. Anna, Susan, Intan, Devi. Mereka tidak tahu rasanya ditinggal kekasih dalam keadaan menggantung. Raka kecelakaan setelah kami bertengkar hebat. Mereka tak mengerti penyesalan yang kualami, luar biasa pedih! Aku hanya ingin bertemu Raka, sekali lagi saja. Aku hanya ingin minta maaf telah menuduhnya tanpa ampun. Aku hanya ingin melihat senyumnya, mendengar suaranya, dan mengucapkan selamat tinggal. Setelah itu, aku akan menempatkannya di pojok paling pojok dalam hatiku. Jarak antara kami sudah tak mungkin lagi terjangkau. Namun setidaknya, pertemuan ini akan memusnahkan rinduku.

“Lanjutkan, Dev,” kataku mantap. Kurasakan genggaman Anna mengencang, keringat mulai membasahi telapaknya. Aku pun takut.

Oke, Girls. Pejamkan mata kalian, tetap saling bergandengan. Aku akan merapal beberapa mantra. Jika berhasil, Raka akan muncul dalam monitor. Lo boleh membuka mata, May. Katakan apa yang ingin lo bilang, bisa jadi Raka akan mengerti bisa juga tidak. Biasanya arwah hanya ingin menyapa orang yang paling ingin ditemuinya. Tetap bergandengan, jika terlepas arwah akan lenyap. Ready, Girls?” Hanya aku yang mengangguk. Desahan ngeri para sahabatku tak menyurutkan niatku.

Let’s do it. Pejamkan mata kalian, genggam yang erat.” Devi mulai memimpin upacara ini. Aku merasakan tangan Anna dan Intan bergetar dalam genggamanku. Aku pun sama takutnya dengan mereka. Devi merapal mantra demi mantra, mula-mula lembut, lalu semakin keras dan keras. Kemudian, entah darimana muncul angin yang bertiup menyibak rambut-rambut kami. Sekujur bulu tubuh kami meremang. Lalu, suara bip panjang datang dari laptop. Aku membuka mata. Seketika air mataku menetes, wajah tampan itu muncul di layar. Kabur pada awalnya, tapi lalu tampak nyata. Tatapannya, senyumnya, ia hidup!

“Raka…,” bisikku. Pria itu menatap ke arahku, seperti mendengar panggilku. Tapi, mengapa ia diam?

“Raka…maafkan aku,” bisikku lagi. Raka tetap diam mendengar suaraku. Keningnya berkerut seperti memikirkan sesuatu.

“Aku…aku gak bermaksud menuduhmu, aku menyesal, Sayang.” Aku mulai mengisak tak terkendali. Genggaman Anna terasa mengencang lalu menggigil. Raka masih mengerutkan keningnya.

“Ini aku, Maya, kau mengenaliku, bukan?” Tapi Raka berpaling dariku. Pandangannya beralih ke Intan, lalu ke Anna. Kemudian senyumnya mengembang.

“Anna, aku rindu sekali.” Suara Raka bergaung, menggema ke seluruh ruangan. Aku terpana. Hatiku pecah berantakan.

********

Words: 440

Monday Flash Fiction: Prompt #61: Jarak yang Terkutuk