22 November 2012
15.30 Aku pulang lebih cepat dari biasa, karena ada meeting di Bekasi. Mendung sangat gelap. Ketika dekat jalan ke rumah Papah aku sempat berfikir untuk mampir sejenak. Karena sejak kemaren Papah agak demam dan batuk. Namun kuurungkan karena kedua malaikatku mau latihan taekwondo dan aku sudah sangat ingin bertemu mereka. Maka jalan menuju rumah Papah pun aku lewati.
19.3. Kekasihku menyuruhku ke rumah Papah karena dengar Papah sakit. Hujan masih cukup rinai.
Kekasihku : Kamu tengok Papah gih. Kasihan, lagi sakit kan?
Aku : Iya, tapi kemaren sudah dikonsulin ke dokter sama Mas Tinon dan udah dikasih obat kok.
Kekasihku : Ooo.
19.41 Aku sedang mandi ketika kekasihku memberikan telpon padaku. Papah menelepon.
Papa : Hallo, Pipit. Piye kabarmu? Apik-apik wae to? Anak-anak piye?
Aku : Hallo, Papah. Iya Pah, aku baik-baik aja kok, anak-anak semua juga baik-baik. Papah gerah ya? Udah mendingan kan, Pah?
Papa : Iyo, wis mendingan.
Aku : Oh syukurlah. Aku ke sananya Sabtu ya, Pah.
Papah hanya diam lalu telepon terputus. Aku tahu Papah pasti kecewa. Belum-belum aku sudah bilang akan datang Sabtu. Mungkin memang Papah ingin aku datang.
Kekasihku : Tuh kan dicariin. Ke sana gih.
Aku : Besok Kakak ulangan 2, Adek juga ulangan.
Kekasihku : Gak papa, sebentar aja.
Aku : Nanti Sabtu aja deh. Kan tahu sendiri anak-anak kalo gak ada aku gak belajar.
Maka aku meneruskan aktifitas seperti biasa.
23 November 2012
05.49 Aku sedang menyuapi Ganteng sereal, kekasihku sedang mandi. Ibu menelepon.
Ibu : Pipit, Papah sepertinya sudah gak ada.
Aku : Gak ada? Gak ada gimana? Maksud Ibu apa? (aku berteriak)
Ibu : Sudah gak ada. Papah sudah dipanggil Tuhan.
Aku : Gak mungkin! Ibu salah, Papah semalam masih nelpon aku. Gak mungkin!
Ibu : Kamu ke sini ya, sekarang.
Aku masih shock. Gak mungkin, Ibu pasti salah. Semalam aku masih mendengar suara Papah. Meski semalam Papah tak menyuruhku datang tapi aku tahu Papah ingin aku datang. Oh Pah, andai aku tahu, andai waktu bisa diputar kembali, andai aku mau mendengar saran kekasihku.
Maka akupun ke rumah Papah. Kekasihku akan menyusulku bersama kedua malaikatku. Sepanjang jalan aku menyesali keputusanku untuk tidak ke rumah Papah kemaren. Kurekam terus kata-kata terakhir Papah di telpon. Kuulang, kuulang, kuulang isi pembicaran singkat itu. Oh Pah, maafkan aku. Aku menyesal. Aku menyesal. Aku kangen Papah.
Sesampai di rumah Papah aku langsung menuju kamarnya. Tuh kan Ibu salah, Papah masih tidur. Tidurnya sangat pulas dengan wajah tenang, seperti biasanya kalo Papah tidur. Maka kugoyangkan Papah dengan lembut. Pah, bangun Pah, aku datang. Tapi Papah diam saja. Tuhan, mengapa Papah diam saja? Biasanya sepulas apapun Papah tidur, kalo mendengar suaraku pasti terbangun. Maka kupeluk Papah, kucium pipinya, dahinya, hangat, tubuhnya hangat seperti biasa. Aku tak kuasa lagi berkata apa-apa. Ibu gak salah. Maafkan aku, Pah. Papaah…
Aku menangis seperti orang tak beriman. Namun aku punya banyak waktu dengan Papah. Ibu sedang mandi, Mas Tinon segera mengurus ini itu begitu aku datang. Tetangga belum ada yang tahu. Kakak adikku belum ada yang datang. Maka aku memeluk Papah. Membisikkan permohonan maaf, mengatakan bahwa aku ada di sisi Papah, aku bicara apa saja. Aku tak tahu Papah mendengar atau tidak. Tapi aku terus bicara dan bicara. Bahkan aku lupa untuk berdoa. Aku hanya ingin Papah tahu, bahwa aku ada di sisinya. Aku minta maaf pada Papah semalam gak datang, aku minta maaf pada Papah jika sering mengecewakan Papah, aku minta maaf pada Papah jika tak bisa selalu membahagiakan Papah.
Tangan Papah yang hangat terkulai di samping tubuhnya. Kulihat kuku Papah sudah panjang. Maka seperti biasa, seperti yang Papah selalu minta aku lakukan, aku memotong kuku Papah. Tangan, kaki, kubersihkan kuku-kuku itu. Sudah bersih Pah, kugenggam terus tangan Papah. Aku gak mau kehilangan kehangatannya.
Lalu Ibu masuk kamar. Isak kami pecah. Ibu bercerita, tadi pagi jam 4 Ibu terbangun. Lalu melihat Papah masih tidur. Ibu ke kamar mandi dan tidur kembali. Sekitar pukul 4.30 Ibu terbangun lagi karena memang Ibu biasa bangun jam segitu kemudian berdoa di kamar. Sekitar pukul 5.30 barulah Ibu kembali mengengok Papah. Tapi Ibu mendapati Papah dalam posisi kaki ternjuntai ke bawah, seperti hendak turun dari tempat tidur. Ibu lalu membetulkan posisi Papah sembari bertanya, “Papah mau duduk atau mau tiduran?” Papah tidak menjawab. Namun karena mata Papah terpejam dan wajah seperti tidur, Ibu hanya membetulkan posisi kaki Papah saja. Sepertinya Ibu mendapati hal aneh. Seperti kukatakan, sepulas apapun Papah tidur jika dibangunkan atau disapa Papah pasti terbangun. Ibu hanya berkata, “Kok Papah ditanya diam saja to?”
Barulah Ibu meraba pergelangan tangan Papah. Tak ada pulse. Ibu segera menelepon Mas Tinon, suami kakak tertua yang tinggal sangat dekat. Ternyata Papah memang sudah pergi. Secepat itu Pah? Dan sendirian, tak ada yang mendampingi saat-saat terakhir Papah? Aku sedih Pah. Aku kangen Papah. Aku sudah merencanakan Jumat pulang cepat lalu mau ke rumah Papah. Mengapa Papah gak mau menungguku? Atau karena Papah lelah menungguku? Maafkan aku, Pah.
Tetangga mulai berdatangan. Aku tak beranjak dari sisi Papah. Ini Papaku, aku yang harus selalu ada di sampingnya. Lalu dokter datang dan menyatakan Papah memang sudah pergi. Aku lalu menyuruh ART untuk menyiapkan air hangat untuk mandi Papa. Pah, seperti dulu selalu kau lakukan ketika aku kecil, maka sekarang ini yang akan kulakukan untukmu. Aku akan memandikan Papa, semampuku, sebisaku, dengan air hangat berampur air mata. Kucukur jenggot dan kumis Papa yang mulai panjang. Aku ingat, Mbakayune yang sering melakukan ini. Biar kali ini aku yang melakukan. Kuusap dahi Papah lembut, sayang Pah, kau tak lagi merasakan usapan tanganku. Selesai mandi, Papah mengenakan baju batik kesayangannya, yang dibelikan Netty adikku. Papah tampan sekali. Kusisir rambutnya yang telah memutih semua. Mengapa Papah diam saja? Tubuhnya masih hangat hingga ke ujung kakinya. Tapi mengapa Papah diam saja? Mengapa matanya selalu tertutup? Tidakkah kau merasakan pelukanku, Pah?
Aku sedih, sangat kehilangan, terutama sangat kecewa karena tak bisa mendampingi Papah di saat terakhir. Bahkan ketika tulisan ini kuselesaikan hari ini di rumah Papah, aku masih tak percaya jika Papah sudah gak ada. Kemaren kurapikan kamarnya ku charge HP nya, kulap kacamatanya. Tapi hingga hari ini, kamar itu masih kosong. Aku gak melihat Papah di kursinya atau di tempat tidurnya. Aku tak mendengar suara TV nya. Aku merasa sepi, hampa. Tentu kau sudah di surga ya, Pah?
Purna sudah tugasmu sebagai suami dan ayah. Kini saatnya Papah isitrahat. Meski hidup ini takkan pernah sama lagi tanpamu, Pah, tapi kenangan akan cintamu akan terus hidup. Aku akan tetap ke sini tiap Sabtu atau Minggu, aku akan tetap berpamitan setiap hendak pulang ke rumah. Dan aku akan menjaga Ibu, cinta pertama dan terakhirmu. Aku kangen sekali, Pah. Aku kangen….