Iseng Aja

Kumpulkan Khawatirmu!

#1

Titipkan saja khawatirmu padaku

Biar kusimpan dalam lemari bekas di gudang

Lalu kuncinya akan kubuang

Agar tak lagi bisa kubuka dan hilang gelisahmu.

#2

Hei, apa yang kau desak-desakkan pada kantung bajuku?

Sampai tumpah ruah begini? Hei, jangan kau lari! Kembali!

Lalu dari kantungku berhamburan khawatir-khawatir

Jumlahnya ribuan, mungkin tiga ratus empat puluh tujuh ribu

Dari kejauhan kau berlarian, melayang-layang ringan.

#3

Kulihat Ibu menyulam selembar kain putih (yang kini kecokelatan karena kotor)

Dari sisi ke sisi lalu ke tengah, huruf kecil-kecil nyaris tak terbaca, berjejalan

Sejak tahun lalu hingga bulan ini tak kunjung usai

Benangnya semua hitam atau cokelat tua

Waktu kuintip dari belakang, terkuak sudah

Isinya kecemasan-kecemasan Ibu tentang segala hal.

#4

Tengah malam aku terbangun karena udara panas

Peluhku kuyup di sekujur tubuh

Kulihat Ayah di teras dengan cangklongnya

Asap mengembus lalu membuyar di angkasa

Sempat terbaca sebelum pudar tulisan-tulisan

โ€œKontrakan, cicilan, uang sekolah, listrik, bensin, …โ€

#5

Pejabat itu gelisah, aksinya nyaris terbongkar

Para dewa berlagak tak kenal, berkata kasar,

Kau sudah dibayar. Selesaikan urusanmu, jangan kau bawa-bawa kami!

Pejabat itu gelisah, tak ada tempat berkesah, satu nyawa telah punah

Pistol di tangannya kini menempel di kening.

Iseng Aja

Puisi

Yaampuuunnn …. teteeep aja gak berubah, masih males nulis hahaha….

Baiklah, daripada blog lumutan, aku mau sedikit nulis tentang pendapat orang-orang si sebuah WAG yang kuikuti ๐Ÿ™‚ (masih belum nemu di mana kusimpan emo yang lucu2 itu ๐Ÿ˜ฆ )

Waktu itu seseorang memosting sebuah puisi yang susah dicerna (bagiku sih :mrgreen: ), lalu timbullah pendapat bahwa semakin puisi tersebut banyak menggunakan kata-kata aneh dan susah dimengerti maka akan semakin keren puisi tersebut.

Errr … kalo aku sih gak setuju hehehe…. Menurutku (yang hanyalah remahan nastar di bawah taplak meja ini) justru seharusnya puisi yang indah adalah yang bisa dinikmati pembacanya. Bisa membuat pembaca larut ke dalam apa yang dirasakan oleh sang penulis, turut bersedih atau bahagia atau takut atau apa pun itu.ย  Di mana letak keindahan puisi jika membacanya pun harus sembari mengerutkan kening? (ahh, itu kan karena kau memang remahan nastaarrr, Cho).

Gak berarti harus dengan kata-kata sederhana ya, itu mah cerpen. Tetap dengan kata-kata indah, kata-kata baru, tapi merangkainya pun dengan indah dan mudah dicerna. Sebab jika kau buat puisi tapi hanya kau dan Tuhan saja yang tau artinya, yaa mending gak usah dipublish ๐Ÿ˜›

Tapi gak juga sih, seorang penyair yang sudah dianggap pujangga dan banyak penggemarnya, sepertinya bebas menulis apa saja meski hanya dia yang tau maknanya ๐Ÿ˜€ dan tetap saja dianggap menulis indah. Contoh:

langit masih luas, masih menjanjikan hlkhlkfhe

dengan rembulan yang lkajjnfh, tapi…ย ย 

aduuhh, apakah pungguk masih mau merindu?

ketika melihat rembulan bercumbu dengan kemukus?

Itu kalo yang nulis aku, langsung dianggap kurang seprapat ๐Ÿ˜€ ๐Ÿ˜€ tapiii… mungkin bila ditulis oleh pujangga ternama akan langsung dipuji (belom tentuuuuuu, itu kan tetep kau yang nuliissss, Chooo).

Jadi, apa poin tulisan ini? Ntahlah … kan, sudah kubilang daripada blog lumutan hahahahaha…..

Mari menulis puisi yang indah, dengan kata-kata baru, dan tetap membaca karya-karya para pujangga… agar wawasan dan kosa katamu bertambah ๐Ÿ˜‰

Dongeng insomnia · Fiksi Kilat · Iseng Aja

Sebuah Kisah Cinta

Seperti Kamis yang sudah-sudah, kau menungguku di ruang tamu. Berbaring di sofa dengan majalah kesukaanmu dan dua gelas martini untukmu dan untukku.

โ€œKau terlambat pulang, Sayang,โ€ desahmu dengan wajah merajuk. Teringat pertama kali bertemu denganmu. Kau menyajikan margarita untukku dan temanku yang seketika tergoda melihat kecantikanmu yang luar biasa. Kau tak suka digoda, dan tanpa pikir panjang kukatakan pada temanku bahwa kau adalah kekasihku. Dan sejak saat itu kau memang menjadi kekasihku. Setiap Kamis malam, saat kau libur, kau akan menungguku untuk menghangatkan malam.

โ€œAda rapat mendadak tadi sore,โ€ sahutku lalu duduk di hadapanmu. Kulonggarkan dasi yang terasa mencekik, lalu kusesap martini dingin itu.

โ€œAyo, ceritakan lagi kisah gadis itu.โ€ Kau memiringkan tubuh menghadapku. Lekuk-lekuk tubuhmu, rambut ikat membingkai parasmu, luar biasa! Andai benar bidadari itu ada, kuyakin kau adalah salah satunya.

โ€œKau tak bosan?โ€ tanyaku. Telah puluhan cerita kubualkan padamu, mengapa kau hanya tertarik pada kisah mengerikan itu?

โ€œMana mungkin bosan pada kisah seromantis itu. Ayolah!โ€ Bulat matamu yang berpendar penuh harap serta bibir merah delima yang mendamba, mana mungkin bisa kutolak? Kuhela napas panjang lalu mulai bercerita.

ย ย ย ย ย ย ย ย ย ย ย ย ย  Alkisah, seorang gadis yang begitu rupawan โ€ฆ

โ€œCantik mana dia denganku?โ€ tanyamu, selalu setiap kuawali kisah ini.

โ€œTentu saja kau lebih cantik, โ€œ jawabku. Pipimu merona.

โ€ฆ menjadi incaran para pemuda, pria-pria tua, miskin, kaya. Hingga akhirnya dia jatuh hati pada seorang pemuda yang berwajah biasa saja pun tak kaya raya, namun sangat merdu rayunya. Setiap hari si pemuda selalu membawakannya setangkai mawar, atau jika tak ditemukannya, ia akan menggantinya dengan melati, lily, bahkan anyelir yang dicurinya dari kebun tetangga.

โ€œRomantis sekali,โ€ desahmu.

Hingga suatu hari si gadis menerima lamaran sang pemuda. Mereka menikah. Kebahagiaan selalu terpancar di antara mereka. Hingga beberapa lama kemudian, anyelir, melati, bahkan mawar tak mampu lagi membahagiakan si gadis. Sebab sang pemuda tak mengizinkannya keluar rumah. Si gadis dimanjakan dengan puisi, lagu-lagu, cinta yang tak terbatas, dengan segala rayuan penuh madu. Namun si gadis bosan, tak terbujuk. Ia merindukan teman-temannya, merindukan taman kota di pagi hari, atau kerlip lampu jalanan di malam hari.

โ€œAku selalu menyukai puisimu, terutama jika kau membacakannya untukku,โ€ ujarmu sendu. Aku berdebar mendengar suaramu yang seperti alunan harpa dari surga. Kuteruskan kisahku, sebab tatapanmu menuntut demikian.

Pertengkaran pertama mulai terjadi. Kemudian lagi, lagi, lagi, dan lagi. Si pemuda marah pada keinginan si gadis. Tak seharusnya ia membagi miliknya pada orang lain, bahkan pada kedua orang tuanya sekalipun. Maka, pada suatu malam, ketika si gadis tertidur, sang pemuda membekapnya dengan bantal hingga napas si gadis tersengal dan akhirnya mati.

โ€œUhh, kasihan,โ€ bisikmu, selalu pada bagian itu.

Pemuda itu menangis sejadi-jadinya. Kemudian ia mendandani si gadis dengan gaun terindahnya, meriasnya dengan penuh kasih lalu mengawetkannya. Kini, si gadis menjadi miliknya seutuhnya. Setiap hari ia membacakan puisi, mengidungkan lagu-lagu cinta, membisikkan kata-kata indah pada istrinya yang tak lagi bisa merengek.

Kuakhiri kisahku dengan menenggak isi gelasku hingga tandas. Tak seperti biasanya, kau terdiam, bahkan menitikkan air mata. Aku terkejut. Kau begitu tak biasa malam ini.

โ€œKau menangis?โ€

โ€œMaaf, kisah itu begitu romantis, aku terhanyut,โ€ jawabmu. Aku pindah duduk di sampingmu, membelai pipi ranummu, lalu kukecup bibirmu. Sekali lagi aku heran, sebab kau tak membalas ciumanku. Bahkan kau menatapku dengan pandangan kosong. Aku bergidik.

Arleta, apakah kau telah menyadari, bahwa gadis dalam cerita itu adalah dirimu? ย ย ย ย ย ย ย ย ย ย ย ย ย 

Dongeng insomnia · Iseng Aja · Nimbrung Mikir · Serial Yu Minah

YM: Kura-kura & Covid-19

Siang tadi aku menyambangi warung Yu Minah. Malas sebetulnya, apalagi dengan kondisi saat ini yang seharusnya di rumah aja, gak ke mana-mana. Tapi ngantuk yang tak tertahankan membuatku melangkah juga. Kok gak tidur aja? Gini, Kawan, sebisa mungkin kuhindari tidur siang. Sebab tidur siang membuatku mimpi buruk, disorientasi, dan mumet ketika bangun. Ngeselin yah? (Jelas pencitraan, wong hari Minggu kemarin tidurku pules biyanget :mrgreen: )

Sesampai warung Yu Minah kudapati hal yang agak aneh. Kursi favoritku diletakkan jauh dari “meja kerja” Yu Minah. Begitu juga kursi-kursi tunggu yang lain diatur berjauhan. Belum sempat menyerukan salam, Yu Minah sudah berteriak dari dalam.

“Jeengg, kok lama banget ndak ke siniii? Memangnya ndak rindu sama saya, to?” Idihh!

Sosok montok itu keluar dan aku nyaris tertawa melihat penampilannya. Daster masih bunga-bunga, tapi wajahnya tertutup masker dan face shield seperti buatan sendiri.

“Sampeyan duduk situ, Jeng, jauhan dikit. Sosial distensing, kata Pak RW!” Ish, kemayu banget! Aku segera duduk di kursi favorit.

“Rujak satu, Yu, puedess!” kataku ketus sambil menyambar koran langganan Yu Minah, Mbogor Minggir Dikit Pos.

“Tumben minta pedes, Jeng? Ehh, saya pake gini biar aman yo, Jeng,” ujarnya. Aku hanya berdehem Sesungguhnya aku bersyukur, sebab mengurangi resiko muncratan Yu Minah hihihihi…

“Jeng… tau, nggak?” tanyanya berretorika sembari menggerus bumbu-bumbu dengan tenaga Thor-nya yang luar biasa. “Itu, katanya anggota DPR mau periksa corona rame-rame?”

Nahh, sebentar lagi pasti ceramah, deh! Aku masih membolak-balik halaman koran.

“Kok ndak tau malu ya, Jeng? Mestinya kan, mendahulukan rakyat, dong. Kok malah cari selamat sendiri! Memangnya dapat darimana itu rapid tesnya?” Sudah gak heran aku mendengar Yu Minah mengucapkan kata-kata asing begitu. Sejak punya ponsel canggih dari Thole, Yu Minah memang semakin cerdas dan sok tau.

“Katanya sumbangan, Yu,” sahutku asal. Pandanganku beralih ke tangan Yu Minah yang mulai memotong buah dengan jurus “Tebasan Dewi Seribu Pedang”. Baru kusadari ternyata Yu Minah juga mengenakan sarung tangan karet.

“Lho, biar sumbangan kan, mestinya untuk orang yang membutuhkan. Mereka itu ngerti ndak to, Jeng, kalo tes corona itu ya buat orang bergejala atau ada keluhan. Untuk tenaga medis yang kemungkinan besar tertular. Orang sehat ngapain dites? Keliatannya pinter tapi kok gak cerdas gitu!”

Aku mengangkat bahu,”Masa iya gak pinter, Yu. Kalo gak pinter kan, gak mungkin duduk di sana.”

“Lha nyatanya? Mana anak istri mau dites juga. Berapa itu totalnya? Sementara masih banyak orang yang perlu malah gak bisa tes. Belum lagi kalo istrinya dua. Apa mau ikut dites?”

“Kan, yang diitung istri yang sah, Yu.”

“Hiihh, mana tau? Mereka itu kan, pinter cari celah.” Yu Minah mulai membungkus rujakku.

“Tadi katanya gak pinter?”

“Yaa nganu, dalam hal tertentu pinter tapi dalam banyak hal gak pinter.” Memang Yu Minah ini mau menangnya sendiri. Aku menyiapkan uang pembayaran.

“Lagian Yu, ngapain sampeyan heboh, wong gak jadi kok tesnya,” gumamku.

“Woohhh, gak jadi to? Ya syukur deh, itu baru pinter namanyaa. Saya kira jadi hihihihihi…. tiwas emosi saya ihik…. ihik…..”

Kuserahkan uang pas untuk membayar rujaknya, “Sampeyan emang gampang emosi kok, Yu.”

“Eitss, jangan bayar pake uang, Jeng. Pakai OVO aja atau apa gitu. Kan, mengurangi resiko penularan.”

“Hahh? Saya gak punya gitu-gituan, Yu, ini adanya uang pas,” ujarku emosi. Sejak kapan Yu Minah terima uang digital?

“Lhooo, jangan emosi to, Jeng. Taruh saja uangnya di situ, wong saya juga gak ngerti OVO-OVOan gitu, kok.”

“Hah? Gimana sih, Yu? Trus ngapain tadi nyuruh bayar bayar pake OVO?”

“Yaa biar kekiniaan, kayak super market itu, Jeng, suruh bayarnya jangan pakai uang hahahahahaha….. Sampeyan ketipuuuuuu. Hahahhaha ….,” gelak Yu Minah terdengar ngeselin banget. Kuambil rujakku dengan kasar lalu pura-pura bersin di dekat Yu Minah yang refleks mundur menjauh.

“WAAAAA …. JEEEENGGGG!”

Kutoleh ke belakang. Yu Minah panik mengibaskan tangannya di udara lalu menyemprotkan entah apa ke segala penjuru. Aku tertawa menang :mrgreen:

Iseng Aja

Belenggu Rindu

Telah kucungkil sosokmu dari kepalaku
kusematkan pada langit tanpa bintang, agar tertutup kelam malam

Namun, rinduku masih mengapung
berkelindan dengan oksigen
yang kuhirup dalam setiap tarikan napasku
meracuni jantung dan nadiku

Kumenyerah, pasrah
sosokmu
tak mau lesap dari ingatan

 

“Selamat Hari Puisi Seduniaaa”

21 Maret 2020

 

*sketch menyusul* ๐Ÿ™Š๐Ÿ˜น

Iseng Aja

Theme

Baiklah, rupanya aku posting tiap dua tahun sekali ya? (ealahh, nyari emo pun aku tak bisaaa lagiii) hahaha …

Oleh karena seorang teman lama menemukan dan membaca blogku jadilah semangat nulis lagi (pencitraan). Mariii kita mulai dengan ganti theme dulu hahahaha …

Let’s see apakah nunggu dua tahun lagi? ๐Ÿ˜›

 

(masih nyari kumpulan emo).

Selamat tahun baruuuuu ….

Iseng Aja · Mbuh Ah ! · Nimbrung Mikir

Ahmad Sri Paus

Tersebut sedetailnya pidato Sri Paus itu, yang setelah jadi mu’allaf, namanya telah beralih jadi Ahmad Sri Paus (supaya umatnya tidaklah sangat kaget, jadi Ahmad Sri Paus tidak mengatakan salam terlebih dulu memulai pidatonya) :

Seorang kawan di grup WA mengirim link berita tentang Paus Yohanes Paulus II yang menjadi mualaf. Wah, sebetulnya ini berita basi menurutku. Malah setahuku bukan Paus Yohanes II tapi justru Paus Benedict ๐Ÿ˜…

Silakan klik quote link di atas jika kau ingin membacanya, Kawan. Tapi bukan itu sih yang membuatku ingin memosting sampah ini. Tapi nama “Ahmad Sri Paus”nya itu, lhoo ๐Ÿ˜‚ Asli, bikin ngakak sampai mual-mual (gaak … gak hamil, kok) ๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜†

Gini lho, “Sri Paus” itu kan, panggilan di tanah air kita tercinta. Orang seberang menyebutnya “Pope” yang berasal dari kata “pappas” atau “papa”. Lalu di Vatikan sendiri sering disebut Bishop of Rome atau Uskup Agung atau Supreme Pontiff. CMIIW.

Makaaa, jika beliau merubah namanya tentu bukanlah “Ahmad Sri Paus” (apalagi pakai Sri) ๐Ÿ˜‚ melainkan “Ahmad John Paul” atau “Ahmad Karol Jรฒzef Wojtyla”. Emangnye beliau tahu “Sri”? ๐Ÿ˜‚ Kalau “his holiness” sih, pasti tahu ๐Ÿ˜†

Udah gitu, si kawan tadi ngeshare baru kemarin dengan judul heboh, “tadi pagi bla … bla …”. Hellooo … setahuku Paus Yohanes ini sudah almarhum, dwehh ๐Ÿ˜† Pas kubaca, owhh ternyata berita itu dibagikan 15 th lalu. Ehh, pas baca sumbernya di bawah postingan, lhoo … Juni 2016? Mbuhlah, ra mudeng ๐Ÿ˜…

Intinya, jika kau ingin membagikan berita heboh nan dahsyat, hendaklah dicek dulu kebenarannya. Setidaknya googling dululaahh hehehe … ๐Ÿ˜‰

Maap lahir batin yaak ๐Ÿค—

Dongeng insomnia · Iseng Aja · Serial Yu Minah

Jual BB

image

Selama bulan puasa ini, Yu Minah hanya buka sore hari sekitar jam empat. Di hari Sabtu atau Minggu ramainyaa minta ampun. Mending aku gak beli daripada harus berebut antrian sama ibu-ibu. Terlebih jika melihat Yu Minah dengan goyang ulekannya, hih mending gak, deh! Takut sama “tetesan-tetesannya” 😅

Nah, sore ini kebetulan aku pulang cepat dan langsung bertengger di warung Yu Minah.

“Tumben sepi, Yu?” tanyaku setelah mengucap salam dan duduk di bangku favorit.

“Sampeyan beruntung, Jeng. Sebentar lagi ndak bakal kebagian, lho,” sahutnya. Hih, sombongnyaaa. Tapi betul sih, apa yang dikatakannya. “Ini pesennya biasa, Jeng?”

“Iyaa, rujak ulek pedes tapi gak banget.”

Bosan melihat ketangkasan Yu Minah mengolah sambal dan mengiris buah yang bak pesilat memainkan jurus “Pedang Sakti Pembelah Langit dan Penggerus Bumi”, aku melihat sekeliling.

Mataku tertumbuk pada sebuah kardus dengan isi yang nyaris tumpah. Botol-botol bekas, bekas bungkus makanan lalu kaleng-kaleng entah bekas apa. Terheran-heran aku menjulurkan leher agar bisa melihat lebih jelas.

“Yu, sampeyan punya kerja sambilan?”

“Hah? Yo ndaklah, Jeng. Keahlian saya ya cuma bikin rujak, ” sahutnya heran. Nanas itu sungguh nyaris lumat dalam pisau saktinya. “Memangnya kenapa?”

“Itu ngumpulin barang bekas? Kukira nyambi jadi pemulung hihihihi ….”

“Sampeyan iniii. Itu kan, idenya Bu RT buat ngumpulin barang bekas, Jeng. Lalu nanti setiap bulan dikumpulkan dan dijual. Uangnya masuk kas buat tambah-tambah biaya piknik RT. Gituuu ….”

“Ooo, dijual ke mana, Yu?”

“Ndak tahu. Sepertinya Bu RT sudah punya langganan pemulung yang suka mbawa gerobak itu.” Yu Minah sudah mulai membungkus rujakku.

“Kalau aku, Yu, gak bakalan mau.”

“Lho, kenapa? Hasilnya lumayan, lho, Jeng! Ditambah lagi, tempat sampah di luar jadi ndak diaduk-aduk pemulung.”

“Nah! Itu … itu kenapa aku gak mau!” ujarku sembari mencari-cari uang pas dalam dompet. “Itu namanya sampeyan menutup rejeki orang, Yuu!”

“Kok nutup rejeki, to? Ah, sampeyan ini aneh!”

“Gini, lho, Yuu. Kalau sampeyan buang barang-barang bekas itu ke tempat sampah, tentu akan menjadi rejeki buat pemulung. Lha kalo dijual, iya sih, mungkin sama-sama ke pemulung yang “bermodal”, mereka yang hidupnya dari mengais sampah tentu gak bisa mendapat jatah. Sementara apalah artinya receh itu buat ibu-ibu kompleks, apalagi pengusaha sukses macam sampeyan ini.”

Yu Minah terdiam, bahkan sepertinya tidak sadar dengan sindiranku 😆

“Iya ya, Jeng. Kasihan juga mereka yang tiap hari mengais sampah lalu ndak menemukan barang yang mereka harapkan. Kok tumben sampeyan bijak banget gini, Jeng? Pasti pengaruh bualan puasa, ya?” Sial! 😬

“Ehh, tapiii … nanti sampahnya berantakan lagi, Jeng!” Ujarnya lagi sembari mengangsurkan rujak padaku.

“Halah, Yuuu … ya tinggal disapu, itung-itung olah raga biar langsingan dikit gitu, lhooo …!”

“Wheladhalaaahhh, Jeeeeng, lha wong ngulek saja kan, sudah olah ragaaaa!”

😆