Beberapa minggu lalu, di suatu Senin yang basah, aku menyaksikan peristiwa yang membuat hatiku tergayuti mendung hitam, yang akhirnya menyeruak hingga mataku bergerimis (ngopo to yo?)
Jadi ceritanya, hari Selasa aku selalu berangkat lebih pagi dari biasanya. Tetapi karena hujan sejak malam, jalanan keluar kompleks luar biasa macet. Nah, di depanku ada mobil jemputan. Entah dari sekolah mana, karena tidak ada nama sekolah maupun alamat. Sepertinya jemputan yang dikelola oleh pribadi bukan oleh sekolah. Seperti umumnya jemputan, mobil ini sudah dimodifikasi sehingga bangku penumpang dibuat berhadapan seperti mikrolet. Duduk paling mentok belakang, adalah seorang anak laki-laki yang tampangnya ganteng, badan pun cukup proporsional, sebut saja namanya Boy. Sepertinya anak SMP atau SD kelas VI. Di seberangnya ada anak-anak yang lebih besar badannya.
Ketika berniat menjawab tantangan OmNh tentang tangak-tengok blog sendiri, tiba-tiba aku malah jadi mumet sendiri. Bagaimana tidak, lha ternyata di tahun ke-7 aku ngeblog ini tidak banyak tulisan yang kubuat! Wahahaha … itulah sebab, aku baru tengak-tengok ya menjelang deadline! (itu bahasa diplomatisnya, Kawan, sebenernya sih, karena gak tau tulisan mana yang berkesan : mrgreen: ).
Baiklah, setelah tersentil dengan peringatan Si Om tentang “dead liner” dan “super dead liner” maka kuputuskan untuk memilih salah satu tulisanku, “TRAGEDI BULU” hahahaha … (mendadak ingat suara Doraemon). Tulisan ini ku publish pada bulan Februari 2014 lalu. Mengapa aku memilih tulisan ini? Karena meski bernuansa tragedi (haiyah) tetapi ini selalu menjadi topik yang lucu bila diingat-ingat. Bahkan setelah kutayangkan tulisan itu di blog dan kubagikan di grup keluarga, langsung bertebaran emoji ngakak sampai nangis! Apalagi tersangka utama alias Mbakayune tak bisa menghentikan tawanya, padahal dia sedang rapat koordinasi! Tentu saja menimbulkan keheranan dan ketakjuban di antara peserta rapat. Yeah, topik ini selalu menjadi pembicaraan yang menimbulkan tawa saat kami sekeluarga berkumpul di rumah Ibunda
Menayangkan tulisan itu bukannya tanpa pergulatan batin, Kawan (haiyah lagii), karena mau tidak mau supaya tidak dianggap hoax, harus ada bukti gambar, kan? Hahahaha … maka muncullah gambar bulu mataku yang mengenaskan itu Maaf bagi Kawan yang tidak beruntung karena sempat melihat gambar itu. Semoga tidak ada kejadian buruk yang menimpa setelahnya
Lalu, apa hikmah dari tulisan konyol itu? Hohohoho … di balik setiap tragedi pasti ada hikmah yang bisa dipetik Yah, tulisan itu semacam peringatan bagi para ibu, tante, kakak, agar tidak melakukan perbuatan eksperimental terhadap anak, adik, keponakan, tanpa referensi yang jelas. Jangan sampai perbuatan yang ditujukan untuk kebaikan ternyata malah menimbulkan penyesalan seumur hidup (ampuun, bahasanyaaa). Tragedi yang kualami itu semoga bisa menjadi pembelajaran bagi pembaca. Berbagi pengalaman seburuk apapun kadang tanpa kita sadari bisa beguna untuk orang lain. Maka Kawan, jangan segan berbagi pengalaman, yang mungkin buruk buatmu tetapi akan menjadi pengetahuan berharga bagi orang lain.
Kisah ini terjadi ratusan tahun yang lalu. Tapi baiklah akan kuceritakan, mana tahu bermanfaat bagi Kawan perempuan yang hendak menikah dengan orang Padang atau setidaknya yang mempunyai calon mertua pandai memasak π
Pada waktu itu, camer berkunjung ke rumah di Semarang, kan ceritanya mau kenalan dengan ortuku ihik…ihik… Nah, setelah semalaman perjalanan dengan kereta, maka paginya kami ke pasar. Ibu camer (selanjutnya kusebut Nenek) hendak memasak, weiiss, asyik dong, secara Nenek kan pandai memasak. Dan sebagai calon menantu yang baik, tentu aku ikutan sibuk (pura-pura, siy) di dapur. Bertiga dengan Ibunda sambil ngobrol ngalor ngidul kami mulai memasak. Sementara para pria ngobrol di ruang keluarga.
Nah, di dapur inilah tragedi itu bermula Hari itu Nenek bermaksud memasak rendang dan gulai ayam. Salah satu bumbu yang diperlukan adalah daun kunyit. (Semoga Mbakyuu Prih tidak membaca ini, pasti aku akan diketawai habis-habisan) (Gak mau dibaca kok dikasih link) (Hayah, malah ribut dewe). Tapi ternyata kami lupa membeli dun kunyit.
“Oh, ada kok, itu di kebun bawah ada tanaman kunyit. Coba kamu ambil, deh!” kata Ibunda. Oh ya, Ibunda senang sekali bercocok tanam π Maka aku segera berlari turun, rumah kami dibangun mengikuti kontur tanah yang berbukit, sehingga dapur ada di atas sementara kebun ada di bawah dapur. Sampai di bawah, ternyata begitu banyak tanaman, rupa-rupa warnanya. Hijau, kuning, kelabu, merah muda dan biru. Haduuhh, tiba-tiba aku baru sadar, bahwa…ternyata…aku gak tahu penampakan daun kunyit itu seperti apa! Gubrakkk!!! Dan selama aku kuliah di Yogya lalu bekerja di Jakarta, aku tak pernah tahu apa saja yang ditanam Ibunda di situ.
Maka, dengan sok taunya aku berteriak dari bawah.
“Ibundaa, gak ada daun kunyit, kok!” Lalu Ibunda dan Nenek melongok dari jendela dapur.
“Lho, ada, kok. Lha ituuu, nang cedakmu!” (Lha ituuu, di dekatmu) seru Ibunda. Aku celingukan, mau di dekat kek mau jauh kek, lha wong aku gak tahu penampakannyaaa
“Itu lho, Cho, di bawah kakimu!” seru Nenek juga. Aku melihat ke dekat kakiku.
“Ohh, yang inii,” sahutku sambil siap memetik daunnya.
“Bukaaaannnn! Yang satunya!” Sampai kaget aku mendengar mereka berdua berseru barengan. Haduuhh, mukaku ini mau ditaruh mana, ya? Maluuuu. Rupanya karena mendengar ribut-ribut, kekasihku menyusul turun.
“Ada apa?” tanyanya.
“Ssstt, aku mau ambil daun kunyit. Yang mana, sih?”
“Ooo.” Dengan tenang kekasihku memetik daun yang sedari tadi menempel di betisku, daun yang lebar dan panjang, lalu memberikannya padaku.
“Nahh, iya yang itu. Tuh, Nak Fery malah tahu,” kata Ibunda. Seketika mukaku langsung kukantongi!
Sampai di atas segera kuserahkan daun itu pada para Ibu.
“Choco, emang belum pernah lihat daun kunyit, ya?” tanya Nenek.
“Lhaa, kamu kan sarjana pertanian, mosok (masa) gak tahu daun kunyit?” goda Ibunda. Haduuhhh!!! Sungguh, aku tersipu-sipu kemaluan!
“Kan, belajarnya menanam jagung, padi, kopi, coklat, karet, bla…bla…,” kataku mencoba ngeles sementara kedua bundaku tertawa menggoda.
Sejak saat itu, aku hafalkan betul yang namanya daun kunyit! Bahkan sekarang, aku sudah tahu seperti apa penampakan kapulaga, pala, asam kandis, jinten, dll. (tapi tetep belum tahu pohonnya kayak mana hihihihihi….)
Pernah kubaca, sesungguhnya blog yang baik (tampilannya lho, bukan isinya) itu yang ringan. Sehingga bagi pembaca yang koneksi internetnya lambat, gak terlalu tersiksa. Sampai-sampai ada tes untuk mengukur seberapa cepat blogmu dibuka, lupa tapi pakai apa hehehe…. Semakin berat, semakin kau akan ditinggalkan pembaca.
Nah, akhir-akhir ini aku sering gonta-ganti theme setelah sekian lama setia pada satu theme. Eh, gak juga, ding. Kayaknya aku sering kok gonta-ganti π bahkan dalam sehari bisa ganti dua kali π¦ Persiiiiiss kayak anak ABG yang baru mulai ngeblog π¦ Mengapa? Gak tahu juga sih π Tapi seringkali aku gak sreg dengan themes gratisan ini. Kalo tampilannya cocok, ehh font nya gak sesuai. Giliran font sesuai, ehh tampilan blockquote nya gak menarik. Rewel, ya?
Kayak theme yang sekarang kupakai, The Monster. Dulu pernah juga sih pakai ini. Aku suka banget dengan jenis font nya, tapi ya ituu kok gambare kayak anak-anak ya, hiks… Pernah juga pakai The Fishy Theme, font nya cantik banget, tapi lagi-lagi gambare childish π¦ Pachyderm juga keren, tapi kayak kebon binatang, halah… Paling cocok untuk usiaku sebetulnya The Twenty Ten, tapiii kok yaa radak garing hihihihi…. Lagi-lagi ini soal selera yaa…
Jadi, maafkan jika Kawan pusing melihat rumahku ganti cat mulu, yaa. Masih belum nemu yang sreg di hati π (makanyaaaaa pake yang bayaarr, gratisan kok rewel π )
Musim panas seharusnya saat ini. Tapi apa yang terjadi? Masiiih saja ada hujan mendadak di sore hari. Begitu juga beberapa hari lalu, baru saja sampai rumah dari bepergian, hujan turun dengan sangat derasnya. Gak sampai 30 menit, hujan berhenti dan langsung panas lagi. Maka gak heran jika banyak penyakit, belum lagi nyamuk yang buanyak minta ampun entah darimana datangnya. Endut-endut lagi π¦
Di hari yang gak jelas gitu kok tiba-tiba aku ingin makan rujak Yu Minah π Maka dengan semangat aku segera berjalan menuju warung Yu Minah. Warungnya tampak sepi, ku teriakkan salam dan segera duduk di bangku favorit.
“Sik bentar ya, Jeng!” teriak Yu Minah setelah menjawab salamku. Gak lama kemudian Yu Minah tergopoh-gopoh keluar. Sebagian rambutnya basah, juga daster putih empat sakunya
“Husy! Wong lagi kena musibah gini. Dapur saya bocor, Jeng, bocor…bocor…,” keluhnya sambil mulai menyiapkan cobeknya yang segede Gaban, “mau berapa ni, Jeng?”
“Dua aja Yu, ulek satu sama serut satu. Pedes tapi gak banget.”
Yu Minah mulai menyiapkan bahan-bahan rujak sambil sesekali mengelap tetesan air dari rambutnya. Aku jadi kasihan.
“Gak manggil tukang, Yu, buat benerin bocornya?”
“Biar nanti Tole saja, Jeng. Saya sudah SMS Tole supaya hari Minggu nanti pulang. Nah tuh, HP saya bunyi. Maap, sebentar yo, Jeng.” Yu Minah segera mengelap tangannya dengan serbet lalu meraih ponsel di dekat keranjang buah. Lho, kok ponselnya berubah lagi? Belum lama kulihat jemari montoknya menari-nari dengan gagap di atas layar sentuh, ini kok kembali dengan Nokia jadulnya?
“Iyo Le, ndak papa…ndak…tadi sudah Ibu tadahin pake ember. Ho’oh….lumayan gede… yo wis gak papa, nanti Ibu manggil Mang Hadi aja. Iyo…baik-baik yo, Le…” Yu Minah meletakkan ponselnya dengan wajah sedih.
“Tole gak bisa pulang, hari Minggu ada jadwal ngasih les bahasa Inggris,” ujarnya sambil mulai memotong-motong buah dengan pisau tajamnya.
“Wah, hebat ya Si Tole,” gumamku sambil menahan liur mencium aroma nanas yang dipotong dengan jurus “Totokan Dua Jari Dewa Langit”.
“Eh, Yu, nomgong-ngomong ke mana HP canggih sampeyan yang putih itu?” tanyaku kepo.
“Wahh, saya ndak bisa makainya, Jeng. Pating clepret, mau nunul ini eh yang kepencet itu, malah gak karu-karuan. Mau saya jual saja, deh. Sampeyan mau?”
“Lha, HP baru kok dijual to, Yu? Kan, sayaang.”
“Gak baru-baru banget, kok. Ceritanya itu tadinya HP nya Bu RW, baru sebulan pakai ada keperluan keuangan, jadi ditawarkan ke saya. Yo wis, saya beli buat Tole. Eh, jebul Tole malah sudah punya yang lebih canggih, rupanya anak itu ngirit banget, uang bulanan dari saya ditabung lalu dibelikan apa itu, Jeng, tablet?” Yu Minah berbinar-binar menceritakan anak semata wayangnya yang penuh pengertian.
“Bu RW jual HP? Kok tumben, Yu?” tanyaku super duper kepo. Gimana gak kepo, Bu RW adalah orang yang berpenampilan paling wah di kompleks. Gelangnya berderet, cincinnya sepenuh jari, sasakannya lumayan tinggi (apa hubungannya, yak? ), dan terlebih lagi selalu nyumbang paling banyak kalo ada kegiatan sosial. Masa iya kesulitan keuangan?
“Ssstt, jangan bilang-bilang yo, Jeng,” bisik Yu Minah bernada gosip tingkat tinggi sambil tengok kanan kiri, “Katanya anggaran rumah tangganya bocor!” Waduh, apa maksudnya? Melihat wajahku yang polos bertanya-tanya, Yu Minah kembali membungkuk ke arahku melewati cobek penuh buah nan segar. Aku berdoa semoga tak ada muncratannya yang jatuh.
“Kabarnya, Bu RW terlibat bisnis berlian, tapi uangnya digelapkan sama temennya sendiri. Akhirnya uang tabungan keluarga tergerogoti, padahal Pak RW gak tahu tadinya. Terpaksa deh, Bu RW menjual apa yang bisa dijual untuk menutup hutang,” cerita Yu Minah sambil mulai membungkus rujakku. Kasihan juga, ya. Tapi menjual HP apa bisa menutup hutang ya?
“Yah, biarpun harganya gak terlalu mahal tapi menjual HP bisa menutup kebutuhan sehari-hari selama sebulan lah, gitu katanya. Emang sih, saya dipesen kalo dah gak suka jangan dijual, nanti kalo kondisi rumah tangganya sudah membaik, mau dibeli lagi. Tapi ngapainlah, mending saya jual sekarang aja kalo ada yang mau. Kalo nanti-nanti harganya makin jatuh,” lanjut Yu Minah sembari mengangsurkan bungkus rujak. Aku segera membayarnya.
“Tapi HP sebagus itu, kan lambang prestise ya, Yu? Kebanggaan, apalagi Pak RW juga pejabat, tentu lebih mudah berkomunikasi dengan istrinya. Juga pasti lebih hemat. Sekarang ini banyak layanan chatting murah bahkan gratis. Daripada nelpon, jatuhnya lebih mahal, kan?”
“Lha gimana, wong butuh, jeh? Kabarnya emas-emasnya juga sudah dijual duluan.” Jiyan, gosip hangat begini emang cuma bisa didapat di warung Yu Minah π Timbul keisenganku menggoda π
“Ya udah Yu, mendingan disimpen aja. Sayang kalo dijual. Apa jangan-jangan anggaran sampeyan juga bocor?”
“Wheeelhaadalaaahhh…. yang bocor itu genteng sayaa, Jeeeng! Memangnya bisnis saya segede apaaaa?”
Kisah ini terjadi ratusan tahun yang lalu. Baiklah akan kuceritakan sedikit tentang keluargaku. Aku adalah anak kedua dari empat bersaudara. Kakakku, mari kita sebut Mbakayune π , lebih tua tiga tahun dariku. Sementara Si Bungsu terpaut lima tahun denganku. Maka jarak antara Mbakayune dan Si Bungsu 8 th bukan? (sik…tak ngambil kalkulator Umi Elaine ngakak deh π ). Nah, karena jarak usia Mbakayune dengan Si Bungsu cukup jauh, maka Mbakayune sempat ingat masa kecil Si Bungsu. Sementara aku yang pada dasarnya pelupa, gak terlalu ingat π
Ketika aku SD kelas 6 kalo gak salah, atau SMP ya? Pokoke lagi lucu-lucunya dan nggemesin deh π³ , Mbakayune cerita bahwa waktu Si Bungsu masih bayi agak besar, ia memotong bulu matanya agar panjang. Entah Mbakayune dapat ide darimana bisa begitu? Tapi kenyataannya emang bulu mata Si Bungsu ini panjang.
Dan inilah awal tragedi itu. Mbakayune pun mengusulkan agar bulu mataku juga dipotong agar bisa lebih panjang dan lentik. Awalnya aku gak mau, tapi karena tergoda akhirnya pasrah juga. Tanpa sepengetahuan Ibunda, Mbakayune pun memotong bulu mataku, kira-kira setengahnyalah. Namun apa yang terjadi, Kawan? Hingga umurku sudah setua ini, kedua malaikatku sudah OTW ABG, body ku sudah melar hingga 6x lipat, bulu mataku tak kunjung memanjang juga Sampai kapan ku harus menanti?
Tapi aku gak marah pada Mbakayune, malah sering jadi bahan becandaan jika kami menyinggung masalah itu. Wong sudah gede kok dipotong, yo gak bakal numbuhlaaahhh? Maklumlah, aku kan polos dan lucu, sehingga mudah percayaΒ sementara Mbakayune eksperimental banggett!
Maka, kuingatkan pada Kawan semua, jangan lakukan ini pada anak-anakmu, adikmu, keponakanmu, anak tetangga, tanpa pengawasan ahlinya Β Karena sesungguhnya, panjang pendek, tebal tipis bulu diturunkan secara genetik, di mana kedua orang tua terlibat dalam menentukannya. Syukuri apa yang adaaa…hidup adalah anugerah…
Ehh, mau ke Mbak Syahrini dulu, minjem bulu mata anti badai. Lumayan kan, bisa dilepas buat payung
PS. Dalam beberapa hari ke depan, foto akan dihapus
Menjelang makan siang, antara mendung dan panas, antara laper dan mual, antara galau dan senang. Serba tak jelas, sperti musim yang kadang hujan kadang panas membara. Ah, daripada ngelantur gak jelas mendingan nongkrong di warung Yu Minah. Lumayan, menyantap rujak di udara yang serba setengah-setengah ini.
Begitu sampai, aku langsung meneriakkan salam dan mendaratkan bemper di bangku favorit. Yu Minah menjawab salam dan tergopoh-gopoh keluar. Terdengar langkah kakinya yang berdebam-debam
“Eeaalaah Jeeeng, lama banget ndak kemari to?” Yu Minah menyerbu sambil mendaratkan cipika-cipikinya. Aku tak kuasa lagi menghindari kecupannya yang basah itu yeaacchh….
“Lha ini mbolos apa gimana?” Nah, mulai usil kan, kepooo ajah!
“Cuti, Yu. Capek lahir batin, istirahat barang seharilah. Buatkan rujak ulek ya, Yu. Pedes tapi gak banget,” sahutku tak acuh. Maka Yu Minah segera beraksi. Demi menghindari obrolannya yang kadang sok tahu tingkat khayangan itu, aku main-main dengan ponsel pintarku.
“Jeng, Jeng, sudah tahu kabarnya Jeng Bumil belum?” Nah, rumpi deh. Aku cuma berdehem
“Itu lho, dia kan mau melahirkan tapi kabarnya hari ini dokter kandungan lagi pada demo.” Wah, aku terpancing nih!
“Terus?” tanyaku. Yu Minah menggerus gerombolan kacang dan teman-temannya dengan tenaga bulldozer yang baru keluar dari pabrik.
“Ya ndak jadi. Padahal hari ini kan dijadwal mau operasi sesar.”
“Ah, kok gampang termakan gosip to, Yu? Emangnya Jeng Bumil sudah ngecek rumah sakitnya?”
“Lho, wong dia di sms sama rumah sakitnya supaya menunda operasi kok, besok baru dijadwalkan ulang.”
“Waah, masa iya? Mestinya kan tetap harus ada dokter yang jaga, dong!”
“Lha ya ndak tauuu,Β wong nyatanya begitu. Kalo ada operasi darurat gimana ya, Jeng? Kan mereka terikat sumpah dokter yang katanya harus mengutamakan nyawa pasien?”
Tanpa menjawab pertanyaan Yu Minah aku segera browsing. Eh, ternyata memang benar. Ada beberapa RS yang menutup poli kecuali UGD. Sedangkan pelayanan rawat inap tetap seperti biasa. Wah, berabe dong kalau ada rujukan sectio caesaria?
“Ini demo apa to, Jeng? Demo yang dokter mal praktik itu itu ya?”
“Iya, Yu. Aksi solidaritas dari para dokter kebidanan untuk mendukung ketiga sejawatnya yang dituduh mal praktik.”
“Sebetulnya emang mal praktik ndak to, Jeng?” Yu Minah mulai mengiris buah-buahan dengan jurus “Menebas Ilalang di Padang Belantara.” Lagi-lagi aku merinding dengan kecepatan dan ketajaman pisaunya.
“Gak tahu, Yu. Aku kan gak kompeten buat menjawabnya, wong gak ngerti. Kalau menurut MA ya dibilang salah, tapi kalau menurut IDI mereka sudah melakukan prosedur.”
“Terlepas dari bener ndaknya yo, Jeng, nek menurut saya ya ndak sepantasnya mereka itu dipenjara macam penjahat. Bagaimanapun mereka kan mencoba menolong nyawa seseorang, mencoba menyelamatkan bayi dan ibunya. Lha kalo sudah suratannya si ibu meninggal ya sudah di luar kuasa para dokter itu, kan ya? Jangankan operasi yang beresiko tinggi begitu, lha wong kita lagi tidur aja bisa-bisa gak bangun lagi kok?”
“Katanya karena lalai melakukan prosedur, Yu. Gak memberitahu resiko operasi pada keluarga, lalai melakukan beberapa tindakan sebelum operasi. Waahh, aku gak mudeng, deh! Ini juga kata internet.”
“Dokter juga manusia, Jeng. Setidaknya kan bukan tindakan kesengajaan mau menghilangkan nyawa pasien. Kalo dokter pelaku abortus sih saya setuju saja mereka di penjara, kalo perlu ya dihukum seberat-beratnya. Lah ini kan cuma para dokter yang lagi apes!”
Heran, Yu Minah semangat banget membela para dokter itu. Aku diam saja daripada salah komen π
“Eh tapi kalo para dokter ini pada demo, apa pendapat sampeyan, Jeng? Kan jadinya RS pada tutup?” Ya ampooon, Yu Minah nih udah kayak anchor yang suka mencecar nara sumber aja!
“Yah setuju-setuju saja, Yu. Ini kan bentuk solidaritas mereka, dukungan mereka, jangan sampai kasus dokter di penjara ini menjadi preseden di kemudian hari. Hanya saja mestinya gak perlu nutup poli yaa. Biarkan saja dokter-dokter muda yang demo, yang senior dan sepuh-sepuh itu duduk manis di poli? Atau demonya per shift, jadi poli tetap buka hihihihihihi….”
Yu Minah sudah mulai membungkus rujakku. Aku pun menyiapkan uang untuk membayar.
“Iya ya, Jeng. Kalo operasi Jeng Bumil kan emang direncanakan. Lha kalo ada kasus darurat kan repot nanti ya?”
Yu Minah mengangsurkan rujak padaku.
“Jeng…Jeng, mbok coba sampeyan lihat di internet situ, demonya masih gak? Dokter-dokternya masih di jalanan gak?”
“Hah? Memangnya kenapa, Yu?”
“Kalo masih, saya mau ke sana…ihik…ihik…barangkali ada dokter yang masih jomblo, kan lumayan ihik…ihik….”
BBM sudah naik. Sudah tidak ada lagi yang bisa diperbuat selain menerima dan menyesuaikan. Dan penyesuaian ini membuatku terkejut. Tadi pagi beli bensin, lupa kalo BBM sudah naik aku beli lima puluh ribu saja (tanggal tuwo ). Lho, ini indikator di mobil kok dikit naiknya? Biasanya dari posisi 2 strip naik sekitar 3 strip jadi berada di tengah. Sebelum bertanya pada petugas pom bensin, aku langsung sadar. Oh iyaa, harga sudah jadi 6,500/l maka 50,000 hanya dapat 7,69 l, jika sebelumnya dapat 11,11 l π¦ jadi berkurang sekitar 3 l lebih.
Gak masalah siy kalo BBM mau naik. Tapi bisa gak ya dijaga supaya yang lainnya gak ikutan naik? Mana mau puasa, musti bayar masuk sekolah, dll..dll… hayah malah curcol
Maka sepanjang perjalanan aku jadi teringat percakapanku dengan Yu Minah beberapa hari lalu. Yu Minah yang kadang menjengkelkan itu mengusulkan adanya plat berwarna. Yah, seperti issue wacana sebelumnya untuk pembatasan BBM bersubsidi, di mana mobil di atas 1500 cc dilarang beli premium, maka usulan Yu Minah itu kuanggap cemerlang. Begini mekanismenya menurut Yu Minah, Kawan.
Untuk mobil 1500 cc ke bawah masih diperbolehkan memakai premium, dengan syarat dia harus mendaftarkan diri ke SAMSAT. Mengganti plat mobilnya jadi warna ungu Dan itu tidak wajib, jadi kalo yang sudah sadar diri gak mau pakai premium ya sudah tetap saja pakai plat hitam. Yang tetap mau pakai premium silakan mengurus di SAMSAT. Karena tidak semua orang punya mobil itu pasti orang kaya lho. Kadang karena kebutuhan transportasi keluarga atau usaha kecil, mobil sangat diperlukan. Belum lagi sarana trasportasi umum yang masih payah. Kalau ada bus bagus ke arah Jababeka sih aku mending naik bus deh. Gak capek, bisa bobok di jalan (meski siap-siap maboks darat lautan udara :mrgeen: ).
Ide nya Yu Minah keren bukan? Daripada kayak sekarang mobil ditempel stiker: “Mobil ini sudah tidak menggunakan BBM bersubsidi” or something like that. Kan malah ngotori kaca mobil. Mending pakai plat warna ungu yang unyu untuk membedakan π Di STNK pun bolehlah disebutkan warna plat π
Dengan demikian gak perlu menaikkan BBM to? Maka yang lain-lainnya pun gak perlu ikut naik kan? Angkot juga gak perlu menaikkan tarif. Dan subsidi tidak salah sasaran. Nek gitu kira-kira pada ganti plat gak ya? Kan malu sudah naik mobil pribadi kok masih pakai BBM bersubsidi? Pakai plat ungu pula? π Tapi kalo aku gak malu aaahh. Ha wong mobil masih nyicil kok apalagi ungu kan warna ku selain warna merah π
Tapi sudah terlambat. Yu Minah boleh-boleh saja beride demikian, sayangnya dia merasa hanya wong cilik. Gak tau harus menyalurkan idenya ke mana, selain ngoceh ngalor ngidul bersamaku, bahkan kadang aku diomelinya pula π¦ Dan kalaupun bisa menyampaikan ide yang menurutnya dan menurutku cerdas, belum tentu pula sejalan dengan pemikiran pemerintah bukan? Kecuali nek presidennya Om Dewo π
Hiks…hiks… berita yang membuatku merinding luar dalam ini dikisahkan oleh teman seruanganku. Sebelumnya mari aku ceritakan sedikit tentang kantorku, Kawan. Dulu aku hanya seruangan dengan sobatku dalam sebuah ruang yang cukup besar. Namun dengan perluasan kantor, di mana kantor kami membeli kantor sebelah yang sudah lamaaaaaaaaaaaaaaa banget tutup, maka renovasi pun dilakukan. Aku mengusulkan agar staf yang jumlahnya hanya beberapa orang ini dijadikan satu ruang saja, biar rame. Maka kami ditempatkan di satu ruang besar yang bekas kantor lama itu.
Seperti layaknya penempatan gedung baru, maka kami pun mengadakan selamatan π Ada dua versi, yaitu versi muslim dan kristen, mengingat dua agama itu yang dominan di tempat kami. Mestinya aman dong, gak ada apa-apa dong. Ternyata, setelah hampir setahun aku menempati ruang baru, ada berita tak sedap yang baru kudengar pagi ini π¦
Pada saat memilih tempat, aku memang memilih tempat di pojok yang nyaman. Sementara sobatku di pojok satunya menghadap pintu. Aku memang senang di pojok karena terkesan aman dan mojok gitu (hayah!). Nah, tadi pagi temanku yang menempati pojok di seberangku melihat penampakan hiiiiyy… baru ngetik aja udah merinding. Dia melihat sekelebat bayangan putih dari arah mejaku aaaahhhhhh…… (aku takut “dia” ikut mbaca nih π¦ ) Kubilang halusinasi kalii, tapi dia sempat merasakan merinding dan bulu kuduk berdiri. Memang temanku ini selalu datang paling pagi, jadi dia sendirian saat melihat itu.
Belum lagi selesai merinding, temanku satu lagi yang duduk di sisi satunya juga bercerita. Kebetulan dia seringkali lembur, nah ketika sore menjelang malam dia sering merasakan ada yang duduk di kursiku. Aduuuhhhh…..nyong merinding kiye, takuuuuttt. Belum selesai dia bercerita aku udah terbirit-birit. Lalu dia juga sering melihat kursiku yang ketika kutinggal menghadap meja, tiba-tiba sudah menghadap dirinya…IIiiiiiyyyyy….. sumprit aku ngetiknya sambil merinding-merinding ini. Semoga “dia” gada di belakangku ….waaaaaaaa…….deg degan iniiiii…..
Duh, Kawan, aku jadi takut banget. Rasanya kerja jadi gak nyaman π¦ Setiap kali teman seruangan keluar ruang aku selalu minta pintu dibuka lebar-lebar. Ingin kutata kembali posisiku cari sisi yang aman. Tapi kan udah pewe dan gimana dengan urusan kabel-kabel yang sudah pada tempatnya? π¦ π₯ Males kan? Hiks…hiks…
Kursiku yang suka muter-muter sendiri π¦Pojokku yang tak lagi nyaman π¦