Sampai dengan saat ini, aku masih menyatakan permusuhan dengan mahkluk bernama kecoa! Hewan yang hingga kini belum kuketahui kegunaannya. Eh, tapi setiap ciptaan Tuhan pasti ada maksudnya, ya? Hihihihi … ampuni hambaMu ini ๐
Tapi jika di masa-masa lampau aku belum tahu cara jitu membasmi kecoa, sekarang aku sudah tahu hahahaha ๐ Mau tahu rahasia ramuan yang diajarkan oleh kekasihku ini? Hahaha … baiklah, ini dia RAMUAN PEMBASMI KECOAAA (harap dibaca dengan suara Doraemon) …
Bahan-bahan:
Shampoo secukupnya
Air segayung
Cara pakai:
Campurkan shampoo ke dalam air
Aduk hingga merata, cepet-cepet aja keburu kecoanya kabur
Siramkan ke tubuh kecoa dengan seksama, jangan panik bila dia mengejarmu, sebab kalau ramuanmu pas, kecoa akan langsung terbalik dan wafat tanpa sempat mengejar
Hitung 1 – 24, dijamin belum selesai menghitung kecoa sudah terbujur kaku
Nah, seiring berjalannya waktu, kutemukan kenyataan bahwa ternyata bukan hanya shampoo yang manjur membasmi kecoa. Bisa dengan deterjen, sabun cuci piring, deterjen bubuk, pokoknya apa saja yang mengandung deterjen dan dicampur air! Siapkan ramuan tersebut di kamar mandimu, maka kau akan menikmati hari-harimu di kamar mandi dengan tenang dan nyaman ๐
Semoga bermanfaat! ๐ ๐
(Kami sampai punya shampoo khusus untuk ramuan pembasmi kecoa. Mereknya? Rahasiaaaaa, dooongg … ๐ ๐ )
Ahaiii, sudah lama banget gak update blog ini hehehe … maklumlah, lagi seneng-senengnya mainan di blog yang lain ๐ Pun sedang ribet berusaha menuntaskan sebuah novel yang sudah selesai di kepala tetapi belum tuntas dituliskan, haiiyahh hahaha …
Di tengah kesibukan yang kadang beneran kadang dibuat-buat, aku dikejutkan oleh kabar bahwa salah seorang teman di kantor lama, suaminya menikah lagi! Padahal anak mereka sudah 4, yang paling kecil baru setahun lebih usianya. Aku tahu banget perjuangan mereka untuk mendapatkan anak, karena sudah bertahun-tahun menikah nggak juga dikaruniai buah hati. Justru ketika temanku memutuskan untuk bekerja malah jadi hamil, bahkan keterusan sampai empat ๐ Sejak kehamilan yang kedua akhirnya dia memutuskan untuk berhenti bekerja. Temanku ini pendiam, sabar, saleha, hampir idamanlah ๐ Entah mengapa suaminya memutuskan untuk menikah lagi setahun yang lalu.
Nah, memang sih bukan kapasitasku untuk membahas hal ini. Toh itu hal yang halal untuk dilakukan. Aku cuma bertanya-tanya untuk para lelaki pelaku poligami, mampukah mereka berbuat adil terhadap istri-istrinya? Maksudku gini, Tuhan menciptakan hari sebanyak tujuh buah (ehh? ๐ ) Nah, kalo seseorang beristri dua, maka bagaimana membaginya? Kalau yang satu 4 hari yang lain 3 hari, apakah ini adil?
Terus kalau istrinya tiga, berarti 2 – 2 – 3. Nah, gak adil juga? Sekarang kalau istrinya empat, berarti 2 – 2 – 2 – 1? Ealaahh, pasti yang kebagian satu hari istri yang paling tua ๐ฆ Kasihan banget ๐ฆ Ya nggak papa juga sih, kan udah lebih lama ๐ Jadi, bagaimana konsep adil dalam membagi jumlah hari ini?
Atau mungkin adil yang dimaksud yang seperti contoh ini. Seorang ibu mempunyai 3 telor sedangkan anaknya ada 4. Nah, karena anak yang pertama dan kedua sudah lebih besar, maka mereka cukup mendapat jatah setengah-setengah saja. Sedangkan kedua adiknya yang lebih kecil mendapatkan seorang satu? Secara anak-anak yang lebih kecil tentu membutuhkan gizi yang cukup untuk pertumbuhannya. Kalau betul konsep adil yang demikian, maka dalam hal poligami manakah yang lebih membutuhkan gizi lebih tinggi? Yang tua atau yang muda? Wahahahaha …. kalo menurutku sih, ya yang tua yang membutuhkan! Ada beberapa alasan, 1. Yang tua sudah cukup menderita diduakan atau diempatkan, maka ia lebih membutuhkan curahan kasih sayang. 2. Yang muda itu kan masih anget-angetnya, selalu bergelora, jadi yaa gak ada masalahlah ditunda-tunda dikit ketemuannya, supaya makin hot ๐ 3. Memang sih, yang tua mungkin sudah kurang hot dalam melayani, tapi kan, dia menempati urutan pertama, dia yang selalu ada dalam suka dan duka ketika mulai merintis rumah tangga, layak dong, mendapat perhatian lebih. 4. Nah, yang muda ini kan, tinggal terima enaknya, suami sudah mapan, sudah banyak uang, jadi ya harap maklum kalo suami lebih banyak berkunjung ke istri tua.
Masalahnya, kalau ternyata istri mudanya lebih tua dari istri tuanya. Lhah, piye, dong? Ya biar aja, kan, statusnya tetep istri muda ๐
Baiklah, sekian ngomongin adil tak adil dalam poligami, cuma pengin tau aja, cukupkah 7 hari dalam seminggu untuk berlaku adil bagi istri tua dan istri muda, baik dua maupun tiga, atau bahkan empat? ๐
Siang antara mendung dan panas membara. Seperti udara panas yang terjebak dalam toples dengan aku berada di dalamnya. Halah … halah … mau beli rujak ke warung Yu Minah aja pake panjang lebar! Yah, sebetulnya bukannya aku gak pernah ke warung Yu Minah. Aku hanya gak menceritakan obrolanku saja. Makin hari Yu Minah makin lebay, sih. Segala macam berita dilahapnya lalu diceritakan kembali dengan semena-mena menurut versinya. Memang yang nonton atau baca berita cuma dia? Sebab itulah aku jarang menceritakannya kembali. Murni opini Yu Minah yang berlagak macam pengamat politik saja. Hahaha.
Warungnya tampak sepi dalam cuaca begini. Tapi aku butuh rujak serut untuk didinginkan dalam lemari es. Seperti biasa aku meneriakkan salam dan duduk di bangku favorit.
“Nggak, Yu. Cuti. Buatkan rujak serut ya, seperti biasa pedes tapi gak banget,” jawabku sembari menyambar koran langganan Yu Minah. Wuidih, DL nya masih membahas soal inisial artis-artis yang terlibat prostitusi.
“Media itu curang ya, Jeng?” tanya Yu Minah tiba-tiba. Ulekannya yang menggemparkan meja benar-benar melumat dengan sadis cabai dan kawan-kawannya.
“Curang kenapa, Yu?”
“Lha itu, artis-artis yang diduga terlibat prostitusi itu semuanya pakai inisial nama. Kan, bisa menimbulkan fitnah!”
“Ya kan, masih jadi saksi, Yu, belum terdakwa.”
“Tapi menimbulkan fitnah! Itu yang inisial AA itu, Ahmad Albar, kan?” Hah? Aku terbahak sampai nyaris terguling dari kursi.
“Sampeyan ini, Jeng, kalau diajak bicara mesti gitu, ndak pernah serius. Lucunya di mana, coba?” omel Yu Minah. Jurus “Dewi Gunung Menebas Rumpun Bambu” membuat buah-buahan itu teriris menjadi batang-batang lembut. Ngeri juga.
“Sampeyan ya aneh kok, Yu! Masak iya Ahmad Albar?”
“Itu maksud saya, Jeng. Ngapain pakai inisial? Coba sampeyan perhatikan, kalau kasus korupsi, prostitusi artis, pasti nama diinisialkan. Mestinya sebutkan saja, supaya masyarakat jelas, ndak nuduh macam-macam pada orang yang mirip namanya. Jangan sampai nanti ada yang inisialnya sama malah ke-GR-an terus pakai nuntut-nuntut media. Nambah kisruh to? Hanya karena mau numpang ngetop? Dan lagi kan, bisa membuat efek malu. Wong keduanya memang memalukan!” Nah, kalau sudah ngomel begitu, aku memilih diam. Pura-pura baca.
“Gini lho, Jeng, kemarin itu ada juga berita dari Aceh. Sepasang kekasih terlihat berduaan atau bermesraan, ndak tahu mana yang benar, dijatuhi hukum cambuk. Tahu, nggak …?”
“Nggaaak …,” potongku hihihihi.
“Makanya saya beri tahu! Nama keduanya disebutkan dengan jelas tanpa I-N-I-S-I-A-L! Nah!” Yu Minah mulai mengaduk rujak serutku. Sumpah, aku kuatir! Semburannya itu lho, moga-moga gak masuk ke rujakku.
“Mungkin karena sudah terbukti bersalah, Yu.”
“Ah, saya ndak setuju. Kalau soal nama sebutkan saja, toh masyarakat pasti juga menebak-nebak. Apalagi sudah tertangkap tangan. Kalau di bawah umur sih, silakan saja disamarkan. Masa giliran pesohor, pejabat, pengusaha nama diinisialkan. Giliran rakyat biasa, maling ayam, nama dijembreng sepanjang rel sepur!”
Fiuh, untunglah rujakku sudah mulai dibungkus. Kalau gak, bisa sampai sore mendengar Yu Minah ngoceh. Aku meletakkan koran untuk mengambil uang. Tapi …
“Lho, Yu, ini ada inisial YM, kira-kira siapa, ya?”
“YM? Ah, ndak pernah dengar ada artis namanya gitu,” sahut Yu Minah sambil mengangsurkan bungkus rujak padaku.
“Ini lho, beritanya. Nih, tak bacain, ya. Tertangkap lagi seorang mucikari berinisial YM. Sehari-hari beroperas di warung rujak di daerah Bogor.”
Beberapa minggu lalu, di suatu Senin yang basah, aku menyaksikan peristiwa yang membuat hatiku tergayuti mendung hitam, yang akhirnya menyeruak hingga mataku bergerimis (ngopo to yo?)
Jadi ceritanya, hari Selasa aku selalu berangkat lebih pagi dari biasanya. Tetapi karena hujan sejak malam, jalanan keluar kompleks luar biasa macet. Nah, di depanku ada mobil jemputan. Entah dari sekolah mana, karena tidak ada nama sekolah maupun alamat. Sepertinya jemputan yang dikelola oleh pribadi bukan oleh sekolah. Seperti umumnya jemputan, mobil ini sudah dimodifikasi sehingga bangku penumpang dibuat berhadapan seperti mikrolet. Duduk paling mentok belakang, adalah seorang anak laki-laki yang tampangnya ganteng, badan pun cukup proporsional, sebut saja namanya Boy. Sepertinya anak SMP atau SD kelas VI. Di seberangnya ada anak-anak yang lebih besar badannya.
Ketika berniat menjawab tantangan OmNh tentang tangak-tengok blog sendiri, tiba-tiba aku malah jadi mumet sendiri. Bagaimana tidak, lha ternyata di tahun ke-7 aku ngeblog ini tidak banyak tulisan yang kubuat! Wahahaha … itulah sebab, aku baru tengak-tengok ya menjelang deadline! (itu bahasa diplomatisnya, Kawan, sebenernya sih, karena gak tau tulisan mana yang berkesan : mrgreen: ).
Baiklah, setelah tersentil dengan peringatan Si Om tentang “dead liner” dan “super dead liner” maka kuputuskan untuk memilih salah satu tulisanku, “TRAGEDI BULU” hahahaha … (mendadak ingat suara Doraemon). Tulisan ini ku publish pada bulan Februari 2014 lalu. Mengapa aku memilih tulisan ini? Karena meski bernuansa tragedi (haiyah) tetapi ini selalu menjadi topik yang lucu bila diingat-ingat. Bahkan setelah kutayangkan tulisan itu di blog dan kubagikan di grup keluarga, langsung bertebaran emoji ngakak sampai nangis! Apalagi tersangka utama alias Mbakayune tak bisa menghentikan tawanya, padahal dia sedang rapat koordinasi! Tentu saja menimbulkan keheranan dan ketakjuban di antara peserta rapat. Yeah, topik ini selalu menjadi pembicaraan yang menimbulkan tawa saat kami sekeluarga berkumpul di rumah Ibunda
Menayangkan tulisan itu bukannya tanpa pergulatan batin, Kawan (haiyah lagii), karena mau tidak mau supaya tidak dianggap hoax, harus ada bukti gambar, kan? Hahahaha … maka muncullah gambar bulu mataku yang mengenaskan itu Maaf bagi Kawan yang tidak beruntung karena sempat melihat gambar itu. Semoga tidak ada kejadian buruk yang menimpa setelahnya
Lalu, apa hikmah dari tulisan konyol itu? Hohohoho … di balik setiap tragedi pasti ada hikmah yang bisa dipetik Yah, tulisan itu semacam peringatan bagi para ibu, tante, kakak, agar tidak melakukan perbuatan eksperimental terhadap anak, adik, keponakan, tanpa referensi yang jelas. Jangan sampai perbuatan yang ditujukan untuk kebaikan ternyata malah menimbulkan penyesalan seumur hidup (ampuun, bahasanyaaa). Tragedi yang kualami itu semoga bisa menjadi pembelajaran bagi pembaca. Berbagi pengalaman seburuk apapun kadang tanpa kita sadari bisa beguna untuk orang lain. Maka Kawan, jangan segan berbagi pengalaman, yang mungkin buruk buatmu tetapi akan menjadi pengetahuan berharga bagi orang lain.
Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kelambatan penulisan Lukisan Cinta ini ๐ Tulisan yang ini selain untuk mengingatkan kisah sebelumnya, juga untuk menunjukkan penambahan kisah yang sebelumnya belum ada ๐ Monggo silakan dinikmati ๐
BAB LIMA KARANG
โSesungguhnya karang marah pada samudera Mengapa selalu mengempas dan mengikis? Menyisakan bilur-bilur pedih siksa dera? Namun karang menerima takdirnya tanpa tangisโ
ย ย ย Rini bersimpuh di depan tanah merah penuh bunga itu dengan mati rasa. Pelayat terakhir baru saja berlalu dengan sedu sedannya. Rini bahkan tak tahu lagi, siapa yang datang, siapa yang memeluknya, siapa yang terus menerus membisikkan kata penghiburan. Semua bagaikan dengungan lebah di telinganya, mengganggu namun tak bisa diusir. Ia hanya ingin berdua saja dengan Elang, meski bocah kecil itu tak lagi tampak mata.
ย ย Elang, Elang, di mana kau, Nak? Mengapa tak kau jawab panggilan Mama? Gelapkah di dalam sana, Nak? Takutkah kau, Nak? Dinginkah? Jangan takut, Sayang, Mama di sini. Mama selalu ada untukmu, Sayang. Boboklah nyenyak, Nak, Mama sayang sekali sama Elang. ElangโฆElangโฆ
Kisah ini terjadi ratusan tahun yang lalu. Tapi baiklah akan kuceritakan, mana tahu bermanfaat bagi Kawan perempuan yang hendak menikah dengan orang Padang atau setidaknya yang mempunyai calon mertua pandai memasak ๐
Pada waktu itu, camer berkunjung ke rumah di Semarang, kan ceritanya mau kenalan dengan ortuku ihik…ihik… Nah, setelah semalaman perjalanan dengan kereta, maka paginya kami ke pasar. Ibu camer (selanjutnya kusebut Nenek) hendak memasak, weiiss, asyik dong, secara Nenek kan pandai memasak. Dan sebagai calon menantu yang baik, tentu aku ikutan sibuk (pura-pura, siy) di dapur. Bertiga dengan Ibunda sambil ngobrol ngalor ngidul kami mulai memasak. Sementara para pria ngobrol di ruang keluarga.
Nah, di dapur inilah tragedi itu bermula Hari itu Nenek bermaksud memasak rendang dan gulai ayam. Salah satu bumbu yang diperlukan adalah daun kunyit. (Semoga Mbakyuu Prih tidak membaca ini, pasti aku akan diketawai habis-habisan) (Gak mau dibaca kok dikasih link) (Hayah, malah ribut dewe). Tapi ternyata kami lupa membeli dun kunyit.
“Oh, ada kok, itu di kebun bawah ada tanaman kunyit. Coba kamu ambil, deh!” kata Ibunda. Oh ya, Ibunda senang sekali bercocok tanam ๐ Maka aku segera berlari turun, rumah kami dibangun mengikuti kontur tanah yang berbukit, sehingga dapur ada di atas sementara kebun ada di bawah dapur. Sampai di bawah, ternyata begitu banyak tanaman, rupa-rupa warnanya. Hijau, kuning, kelabu, merah muda dan biru. Haduuhh, tiba-tiba aku baru sadar, bahwa…ternyata…aku gak tahu penampakan daun kunyit itu seperti apa! Gubrakkk!!! Dan selama aku kuliah di Yogya lalu bekerja di Jakarta, aku tak pernah tahu apa saja yang ditanam Ibunda di situ.
Maka, dengan sok taunya aku berteriak dari bawah.
“Ibundaa, gak ada daun kunyit, kok!” Lalu Ibunda dan Nenek melongok dari jendela dapur.
“Lho, ada, kok. Lha ituuu, nang cedakmu!” (Lha ituuu, di dekatmu) seru Ibunda. Aku celingukan, mau di dekat kek mau jauh kek, lha wong aku gak tahu penampakannyaaa
“Itu lho, Cho, di bawah kakimu!” seru Nenek juga. Aku melihat ke dekat kakiku.
“Ohh, yang inii,” sahutku sambil siap memetik daunnya.
“Bukaaaannnn! Yang satunya!” Sampai kaget aku mendengar mereka berdua berseru barengan. Haduuhh, mukaku ini mau ditaruh mana, ya? Maluuuu. Rupanya karena mendengar ribut-ribut, kekasihku menyusul turun.
“Ada apa?” tanyanya.
“Ssstt, aku mau ambil daun kunyit. Yang mana, sih?”
“Ooo.” Dengan tenang kekasihku memetik daun yang sedari tadi menempel di betisku, daun yang lebar dan panjang, lalu memberikannya padaku.
“Nahh, iya yang itu. Tuh, Nak Fery malah tahu,” kata Ibunda. Seketika mukaku langsung kukantongi!
Sampai di atas segera kuserahkan daun itu pada para Ibu.
“Choco, emang belum pernah lihat daun kunyit, ya?” tanya Nenek.
“Lhaa, kamu kan sarjana pertanian, mosok (masa) gak tahu daun kunyit?” goda Ibunda. Haduuhhh!!! Sungguh, aku tersipu-sipu kemaluan!
“Kan, belajarnya menanam jagung, padi, kopi, coklat, karet, bla…bla…,” kataku mencoba ngeles sementara kedua bundaku tertawa menggoda.
Sejak saat itu, aku hafalkan betul yang namanya daun kunyit! Bahkan sekarang, aku sudah tahu seperti apa penampakan kapulaga, pala, asam kandis, jinten, dll. (tapi tetep belum tahu pohonnya kayak mana hihihihihi….)