Iseng Aja

Puisi

Yaampuuunnn …. teteeep aja gak berubah, masih males nulis hahaha….

Baiklah, daripada blog lumutan, aku mau sedikit nulis tentang pendapat orang-orang si sebuah WAG yang kuikuti 🙂 (masih belum nemu di mana kusimpan emo yang lucu2 itu 😦 )

Waktu itu seseorang memosting sebuah puisi yang susah dicerna (bagiku sih :mrgreen: ), lalu timbullah pendapat bahwa semakin puisi tersebut banyak menggunakan kata-kata aneh dan susah dimengerti maka akan semakin keren puisi tersebut.

Errr … kalo aku sih gak setuju hehehe…. Menurutku (yang hanyalah remahan nastar di bawah taplak meja ini) justru seharusnya puisi yang indah adalah yang bisa dinikmati pembacanya. Bisa membuat pembaca larut ke dalam apa yang dirasakan oleh sang penulis, turut bersedih atau bahagia atau takut atau apa pun itu.  Di mana letak keindahan puisi jika membacanya pun harus sembari mengerutkan kening? (ahh, itu kan karena kau memang remahan nastaarrr, Cho).

Gak berarti harus dengan kata-kata sederhana ya, itu mah cerpen. Tetap dengan kata-kata indah, kata-kata baru, tapi merangkainya pun dengan indah dan mudah dicerna. Sebab jika kau buat puisi tapi hanya kau dan Tuhan saja yang tau artinya, yaa mending gak usah dipublish 😛

Tapi gak juga sih, seorang penyair yang sudah dianggap pujangga dan banyak penggemarnya, sepertinya bebas menulis apa saja meski hanya dia yang tau maknanya 😀 dan tetap saja dianggap menulis indah. Contoh:

langit masih luas, masih menjanjikan hlkhlkfhe

dengan rembulan yang lkajjnfh, tapi…  

aduuhh, apakah pungguk masih mau merindu?

ketika melihat rembulan bercumbu dengan kemukus?

Itu kalo yang nulis aku, langsung dianggap kurang seprapat 😀 😀 tapiii… mungkin bila ditulis oleh pujangga ternama akan langsung dipuji (belom tentuuuuuu, itu kan tetep kau yang nuliissss, Chooo).

Jadi, apa poin tulisan ini? Ntahlah … kan, sudah kubilang daripada blog lumutan hahahahaha…..

Mari menulis puisi yang indah, dengan kata-kata baru, dan tetap membaca karya-karya para pujangga… agar wawasan dan kosa katamu bertambah 😉

Fiksi Kilat · Nimbrung Mikir

The Wedding

Prompt 62“Segera ganti gaunmu, Nat,” ujar Carol, pengiring pengantin yang paling muda.

“Biarkan sebentar, dia kan baru saja menikah,” gumam Jane, pengiring pengantin yang paling tua dari ketiganya. Natasha -sang pengantin- mendesah lirih.

“Mereka curiga tidak?” bisiknya.

“Gak akan! Usianya sudah delapan puluh tahun lebih, wajar kena serangan jantung!” gusar Carol, “segeralah ganti gaunmu dengan yang hitam!”

“Besok, setelah pemakaman, akan ada pembacaan wasiat. Kau yakin, aku ahli waris tunggal?” tanyanya.

“Seyakin jantung Paul sudah berhenti berdetak. Minggu lalu aku tidur dengan pengacaranya.” Jane mengikik geli.

“Baiklah, ayo kita ganti baju, Sisters!”

Setelah menarik napas panjang, Natasha membuang pot kecil yang tadinya berisi serbuk sianida ke sungai deras di bawah mereka.

 

********************

Words: 110

Edited (tanpa mengubah jumlah words) atas saran Vanda Kemala, thank youuu ^-^

Tulisan ini untuk Monday FlasFiction: Prompt #62: Hey Girls!

Sumber gambar: Monday FlashFiction

Dongeng insomnia · Fiksi Kilat · Nimbrung Mikir

Kesandung Cinta

Senandung-Cinta-134x150“Bhirawa!”

“Ssssttt, panggil aku Kapten dong! Kan lagi di depan anak buah nih!” desis Kapten Bhirawa menyambut seruan Andi, kawannya.

“Hahahahaha…sorry, Kapten,” tawa Andi sembari melirik seorang prajurit berseragam loreng-loreng di samping Kapten Bhirawa.

“Nah, gitu kan keren. Eh, kamu ikut parade juga?”

“Iya dong, gini-gini kan aku kapten juga,” jawab Andi. Berdirinya langsung tegak, tangannya membetulkan topi pilotnya. Kapten Bhirawa pun tak kalah sigap, berdiri tegak dengan dagu menantang dan wajah garang. Untuk lelaki seusianya, Kapten Bhirawa memang tergolong tinggi dan berbadan  besar namun tidak gemuk. Parasnya tentu saja tampan, membuat Ibu manapun ingin menjadikannya menantu. Lagak gayanya kadang serius namun lebih sering usil dan penuh canda.

Tengah mereka asyik bercanda tiba-tiba seorang gadis manis mendekati mereka.

“Ada titipan,” katanya seraya menyerahkan amplop merah muda kepada Kapten Bhirawa.

“Dari siapa?”

“Tuh,” sahut Si Gadis menunjuk ke suatu tempat lalu segera berlari menjauh. Kedua lelaki itu menengok ke arah yang ditunjuk. Tampaklah seorang gadis manis berseragam polisi menunduk malu-malu. Inspektur Suzana!

“Cie…cie...surat cinta nih yaaa,” goda Andi. Merah padam wajah Kapten Bhirawa. Dibaliknya amplop merah muda bersegel stiker “love” itu. Betul, tertulis nama Suzana.

“Uhuuuyy, parah lo, Kap. Pacar-pacaran ihhhiiiyyy…..,” serang Andi bertubi-tubi. Prajurit di sebelah Kapten Bhirawa ikut senyum-senyum menggoda. Kapten Bhirawa semakin mati kutu. Sementara dari kejauhan Inspektur Suzana mencuri-curi pandang, sesekali menundukkan kepala jika terbentur pada tatap mata Bhirawa.

“Enggak! Aku nggak pacaran!”

“Tuh buktinya, ada surat cinta? Ciee…ciee….ngaku aja dehh!”

“Enggak!”

“Hahaha…jangan bohong deh, tuh pipinya merah ahahaha…..”

“Andi! Jangan iseng!”

“Orang beneran gitu, cieeee…..”

Godaan Andi membuat semua yang sedang sibuk mempersiapkan diri untuk parade menoleh dan senyum-senyum. Kapten Bhirawa semakin malu tak terkira.

“Tuh, Suzana liatin kamu terus. Buruan baca suratnya, uhuuuyy….”

“Aaarggg, Bu Guruuuuuu, Andi nakaaaalll!” Akhirnya Kapten Bhirawa tak tahan lagi. Ia berlari menghampiri gurunya yang sedang sibuk mempersiapkan murid-murid untuk parade 17 Agustus an Sekolah Dasar se kodya Surabaya.

Cerita  ini diikutsertakan pada Flash Fiction Writing Contest:Senandung Cinta

Ahaaiii, wish me luck 😉

Dongeng insomnia · Fiksi Kilat

[Berani Cerita #15]: Immortal

EDWARD CULLEN

“Lakukan saja, mengapa kau ragu?” Tanyaku padanya. Ia menghela napas panjang.

“Kau yakin?” Tanyanya setelah aku nyaris membeku karena diamnya.

“Tentu saja. Lihat, aku sudah mulai menua sementara kau masih begitu muda dan tampan.”

“Kau tahu, Sayang, menjadi abadi itu melelahkan,” keluhnya.

“Aku tahu, aku pun nyaris abadi, Dear,” tawaku lirih sambil menunjukkan putihnya rambutku.

Ia menatapku, masih ragu. Maka aku mendekat padanya, memeluknya.

“Aku akan menemanimu, menjelajah isi dunia ini. Agar kau tak lelah sendiri, bersama kita hadapi keabadian.”

Aku jatuh cinta padanya sejak masih remaja. Dan ia tak pernah berubah, selalu muda dan tampan. Bertahun ia pergi jsutru dengan alasan karena mencintaiku. Dan setelah sekian tahun mengembara dan terpisah, perjumpaan ini sungguh membuat kami memanas, meski umur nyaris membuatku mati.

Ia mulai menciumi leherku lalu menjilatinya dengan hangat seperti dulu, puluhan tahun lalu, juga seperti belum lama ini, ketika kami berjumpa untuk pertama kalinya. Tak sampai setengah menit ia mulai bergelora, taringnya mulai menggelitik kulit leherku, Aku memejamkan mata, air mata mengalir tanpa kusadari, mungkin menetes ke pipinya karena ia menghentikan ciumannya.

“Sayang?”

“Teruskan, Dear. Aku gak papa,” dustaku. Ia kembali ke leherku. Puluhan tahun ia menolak untuk menyakitiku, tapi kini dengan bergairah ia mulai menancapkan taringnya di leherku. Tepat ketika kulitku nyaris terkoyak, kutancapkan belati perak ke dadanya. Ia tersentak ke belakang, melepaskan pelukannya. Matanya terbelalak menatapku, sementara asap mulai melangit dari lukanya. Darah hitam kental mengalir dari jantungnya.

“Kau?”

“Maaf…maafkan aku, Dear. Tapi…aku benci keabadian…,” tangisku. Ia terhuyung lalu roboh. Asap semakin tebal keluar dari tubuhnya. Aku menutup wajahku, tak sanggup menatap kengerian di hadapanku. Jasad berumur ratusan tahun itu kini hangus lalu menjadi abu.

words: 269

PS. Gambar minjam dari Google 😉

Dongeng insomnia · Nimbrung Mikir · Oooh Indahnyaaa....

Obituari Oma

Sebuah proyek rahasia yang digagas dan dimotori oleh pemilik Dunia Pagi, Amela Erliana itu akhirnya purna sudah. Mengumpulkan sekian blogger dan melempar bermacam thema cerita lalu pada akhirnya memutuskannya tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan. Menyatukan sekian belas (ato puluh) blogger pada awalnya, dengan karakteristik yang berbeda, bahkan mungkin belum saling kenal apalagi kopdar bukan juga pekerjaan mudah. Namun itulah Amela, di sela kesibukannya mempersiapkan pernikahan (cihuuuiiii) akhirnya gadis manis yang suka bangun pagi ini mampu menyatukan sahabat-sahabat mayanya dan menyelesaikan buku “Obituari Oma”.

Dan inilah sepuluh orang bloggers yang naskahnya terkumpul dalam “Obituari Oma”:

AmellaIlham, Orin, Sulung, Ari Tunsa, Dhenok, Kakaakin, Ne’, Lea, dan tentu saja…ihik…ihik..uhuk…uhuk… aku sendiri ashamed0002 Free Emoticons   Shame

Simak ini:

“Marina Wijaya, seorang artis senior yang telah malang-melintang selama setengah abad di dunia perfilman Indonesia. Kematiannya yang tiba-tiba meninggalkan kesedihan yang mendalam di hati keluarga dan penggemarnya. Tapi tak semua orang merasa kehilangan. Tak semua orang mencintai si cantik Marina.
10 orang blogger, dalam 17 flashfiction, mengisahkan sosok Marina Wijaya dari berbagai sudut pandang, berusaha mengungkap sisi lain sang bintang.”
Nah, Kawan, tidakkah kau penasaran dengan isi buku ini? Kumpulan tulisan sepuluh orang blogger yang mempunyai gaya bercerita tersendiri? Menarik!
???????

Sebuah langkah kecil yang berani namun mampu memotivasi untuk langkah-langkah yang lebih besar di kemudian hari. Terimakasih Amela, untuk kesempatan yang kau berikan untukku. Dan tentu saja para penulis buku ini. Seperti kata Amela, “Semoga buku ini bisa menjadi kenangan indah atas persahabatan kita.”   love0062 Free Emoticons   Love 😉

Dongeng insomnia · Fiksi Kilat · Iseng Aja

Don’t Kiss Him!

Hujan masih saja turun dengan derasnya. Langit kadang melemparkan cahaya yang menyilaukan, lalu suara guntur memekakkan telinga. Dan aku masih saja melihatnya termenung sendirian, sementara keluarga besar kami riuh menyambut hujan.

“Hai,” sapaku. Ia hanya menoleh sayu dan tersenyum tipis padaku.

“Kau masih saja memikirkannya ya?” Tanyaku. Ia mendekatiku dan menyentuhku halus.

“Tidak, Sayang. Aku hanya sedang menikmati hujan,” jawabnya. Tapi aku tahu ia berbohong. Matanya sedikit berkabut dan senyumnya dibuat-buat. Aku tak terlalu peduli sesungguhnya, karena kini ia telah jadi milikku sepenuhnya. Aku tersenyum padanya.

“Kau menyesali keputusanmu, Prince?”  Tanyaku lagi. Ia menggeleng kuat-kuat. Aku tersenyum puas.

Ingatanku melayang ke beberapa minggu lalu, saat kudapati ia bercengkrama dengan Sang Putri. Hatiku panas, mendidih dan nyaris meledak! Melihat kemesraan mereka berdua, saat Sang Putri membelai-belai Prince dan sesekali berkejaran. Ih, benci aku melihatnya!

Maka pada suatu sore, saat Prince tak mengunjungi Sang Putri, akulah yang mendatanginya ke dekat kolam di belakang istana. Dan benar saja, Sang Putri sedang duduk di kursi taman sambil menikmati teh sore. Cantik sekali putri itu, pantas saja Prince terpesona, huh! Aku sembunyi di balik daffodil dan menimbulkan bunyi gemerisik. Sang Putri menoleh ke arahku.

“Prince, kaukah itu?” Tanyanya dengan suara merdu luar biasa, membuatku merasa mempunyai suara paling sumbang di seluruh alam raya ini. Aku menampakkan diri. Sang Putri tampak kecewa melihatku.

“Ah, aku kira Prince,” keluh Sang Putri lalu kembali sibuk dengan tehnya. Kesal sekali aku, tak dipandang sebelah mata kehadiranku di sini. Maka kuinjak kakinya dan Sang Putri memekik.

“Dengarkan aku, Putri!” Geramku. Sang Putri ketakutan, kulihat tubuhnya menggigil, meski entah dia mengerti atau tidak perkataanku.

“Jangan sekali-sekali lagi kau dekati Prince, dia milikku! Jika kau masih saja bersamanya, maka aku akan menyerangmu bersama teman-temanku!” Ancamku. Melihat ekspresiku yang mungkin mengerikan dan tak karuan dengan suara tertahan di tenggorokan dan mata melotot, Sang Putri berlarian meninggalkanku. Huh!

Beberapa hari kemudian, kulihat Prince mendatangi Sang Putri dan mereka lagi-lagi bercengkrama. Amarahku telah memuncak! Kesabaranku habis sudah! Esok sorenya kukerahkan teman-temanku mendatanginya. Lagi-lagi aku menginjak kakinya.

Sang Putri memekik kecil dan memandangku dengan jijik.

“Dengar, Putri! Kuingatkan sekali lagi, jangan kau dekati Prince! Dan terutama, jangan sekali-sekali kau CIUM dia! Mengerti?” Bentakku. Sang Putri membuang muka, seolah tak mengerti perkataanku. Maka kupanggil kawan-kawanku yang sembunyi di balik rumpun daffodil, jumlahnya kira-kira dua puluh. Semua bertubuh besar dengan muka paling buruk dan mata melotot nyaris keluar.

Demi melihat kami, Sang Putri memekik ngeri dan berlari sambil berteriak-teriak. Aku terkikik-kikik melihatnya tunggang langgang. Kali ini, ia takkan pernah lagi mendatangi kolam di belakang istana.

Dan kini kupandangi Prince yang masih saja berduka. Kukecup pipinya lembut.

“Biarkan aku menghibur hatimu, Prince. Yuk, kita bergabung dengan yang lain. Sepertinya hujan tinggal gerimis saja, tentu sejuk dan indah untuk kita nikmati,” bujukku merayu. Prince tersenyum dan mengangguk.

Kami berdua melompat ke atas teratai dan bergabung bersama yang lainnya, memadukan suara dengan sisa hujan, bersatu dengan alam menyambut cinta yang kini milikku sepenuhnya (dan tentu saja kutukan yang terus melekat pada Prince).

Kung…kong…kung…kong…

PS. Gambar minjem dari Google 😉

Dongeng insomnia · Fiksi Kilat · Iseng Aja

Persaingan

“Jangan kau ambil roti isi itu, Susan! Itu pesananku dari pantry! Tidak pakai mentega dan sardin!”

“Hei, aku juga pesan yang sama, sudah jelas ini milikku. Ambillah roti yang lain!” gerutuku sambil tetap mengambil roti itu. Lusi, wanita yang paling tak mau kujumpai itu merengut dan segera menuju ke pantry. Ia memang selalu kalah jika bersaing denganku. Biar saja, toh aku yang datang duluan di sini.

Setelah sarapan di teras dengan dibuai angin yang masih dingin, aku membaca surat kabar. Tiba-tiba pagar terkuak dan masuklah seorang pria tampan dengan trolley bag besar. Sejenak ia melambai pada mobil yang baru saja mengantarnya. Lalu ia menuju ke arahku dan bertanya.

“Selamat pagi. Aku calon penghuni baru di sini, bisakah kau tunjukkan di mana kantornya?”

Dengan senang hati kuajak ia pavilion belakang, kukenalkan pada Ami yang bertugas lalu kutinggalkan mereka. Di kebun aku sempat melihat Lusi yang memandangiku penuh tanya.

“Mau apa dia, Susan?” tanyanya. Aku mengangkat bahu dan meninggalkannya.

******************************

Makan malam kali ini berlangsung hangat. Selain menu istimewa kesukaanku, kami semua dikenalkan dengan pria penghuni baru yang tadi pagi datang. Namanya Harry. Orangnya humoris dan menyenangkan. Nampaknya semua orang akan menyukainya. Kecuali, Lusi. Di manakah dia? Mengapa tak ikut makan malam? Ah, biarpun aku tak suka padanya tapi sepi rasanya jika ia tak ada. Rasanya tak seru karena tak ada yang kuajak berebut hal-hal yang kami sukai.

Usai makan malam kami masih ngobrol di ruang tengah. Sam memainkan piano dengan merdunya, sementara yang lain ada yang berdansa, ada yang membaca, atau sibuk sendiri-sendiri. Sekilas kulihat Lusi hendak bergabung, namun ketika melihat aku mengobrol dengan Harry ia bergegas keluar ruangan. Ada apa? Mengapa Lusi tampak aneh?

*****************************

“Jangan kau ambil kopiku, Susan. Itu pesananku dari pantry, tanpa cream.”

“Aku pesan yang sama. Ambillah kopi yang lain!” Lagi-lagi aku menggerutu dan tetap mengambil kopi hangat itu. Seperti biasa tanpa perlawanan hanya cemberut Lusi menuju ke pantry. Namun langkahnya terhenti di pintu, nyaris bertabrakan dengan Harry. Tanpa kata Lusi menerjang Harry dan berlari keluar. Sungguh tak sopan kurasa. Harry tak sempat berkata apa-apa bahkan mungkin tak sempat melihat Lusi, hanya mengangkat alis kebingungan.

“Dia Lusi, kau belum kenal dengannya. Yuk, kita sarapan di kebun,” ajakku. Harry mengambil secangkir kopi dan setangkup roti isi lalu mengikutiku ke kebun.

****************************

“Ambillah roti itu, Susan. Kurasa ini terakhir kalinya aku mengalah,” desah Lusi tanpa perlawanan ketika aku mengambil roti isi tanpa mentega itu. Aku heran. Aneh sekali perangai Lusi hari ini.

“Terakhir? Maksudmu?”

“Aku akan pindah pagi ini,” jawabnya. Aku terkejut. Pindah? Akukah penyebabnya? Setitik rasa bersalah bersarang di dadaku.

“Mengapa? Mengapa begitu mendadak?”

Lusi hanya tersenyum dan memelukku hangat.

“Aku akan merindukan pertengkaran kita, Susan,” ujarnya. Seseorang memasuki ruang sarapan. Ami, membawa surat yang harus ditandatangani Lusi.

“Sudah siap, Oma Lusi? Bob yang akan mengantar Oma ke panti yang baru,” kata Ami lalu meninggalkan kami berdua.

Aku masih bertanya-tanya tak mengerti. Tentu saja aku akan sangat kehilangan Lusi.

“Akukah penyebab kepindahanmu, Lusi?” Tanyaku penuh sesal. Lusi tertawa.

“Tentu saja bukan. Tapi Harry, ia mantan suamiku,” bisiknya lalu berlalu meninggalkanku.

PS. Gambar dipinjam dari Google 🙂

Dongeng insomnia · Fiksi Kilat · Nimbrung Mikir

Keabadian?

Dedaunan itu masih saja luruh berguguran, meski musim telah berganti dan ranting-ranting nyaris membeku. Bahkan salju tipis dan lembut sudah mulai melayang-layang turun. Andai abadi itu ada, tentu dedaunan ini masih melekat pada rantingnya. Dan musim takkan pernah berganti.

Aku merapatkan syal yang membebat leher. Dingin jelas-jelas mampu menembus mantelku, setebal apapun. Namun hatiku hangat, mengingat siapa yang kutuju di taman ini. Ah, itu dia! Pria tampan berambut coklat yang duduk di bench¹. Senyumnya hangat, tangannya terentang menyambutku. Aku berlari kecil dan tenggelam dalam dekapannya.

“Aku rindu,” bisikku di bahunya. Ia membelai rambutku dan mengecupnya.

“Mengapa aku harus selalu menemuimu di sini? Mengapa tidak di tempatku saja, lalu kita berpelukan di depan perapian semalaman,” gumamku. Ia tertawa kecil. Dilepasnya pelukannya dan matanya menembus mataku.

“Kau tahu alasannya bukan? Di sinilah akhirku, dan hanya di sini kita bisa bertemu,” ujarnya.

Aku melenguh dan menyerah. Ia membimbingku duduk di sampingnya dan tak mau melepas pelukannya.

“Apa kabarmu, ma chérie²?” tanyanya sambil menjumput segumpal salju tipis dari bahuku.

“Pedih, selalu mengingatmu dan berharap selalu ada di sisimu,” desahku.

“Lalu mengapa tidak?” tanyanya.

Aku merogoh kantong mantelku. Di dalamnya kuraba botol kecil berisi cairan merah delima, amerta³. Carian keabadian yang kutemukan dari saku baju kekasihku beberapa waktu silam. Kukeluarkan kembali tanganku.

“Aku tak berani, amour,” bisikku. Bahuku sedikit menggigil entah kedinginan atau dibayangi kengerian.

“Hei, kau menggigil, chérie! Yuk, kita mainkan waltz seperti dulu.”

Ia membungkuk dan menarik tanganku. Aku tertawa menyambut uluran tangannya.

Kami berdansa di tengah hujan salju tipis, tentu saja diiringi orkestra dalam angan. Beberapa pasang mata menatapku keheranan. Aku tersenyum pada mereka dan sesekali mengangguk anggun.

“Lihatlah, mereka memandangi kita,” bisikku pada kekasihku. Ia menoleh ke arah orang-orang yang lalu lalang di sekitar kami.

“Mereka memandangmu, Sayang, bukan padaku. Karena kau terlihat cantik sekali malam ini,” ujarnya lalu tertawa kecil. Aku merona. Ia menciumku hangat. Dan orang-orang itu bahkan menghentikan langkahnya sejenak dan tersenyum. Aku semakin tersipu.

Musik nyaris berakhir dan dansa hampir usai. Ini saatnya perpisahan, aku sedih dan ingin menangis. Lelah dengan pertemuan sesaat seperti ini, hari demi hari, bulan demi bulan, nyaris setahun derita ini.

“Aku ingin ikut denganmu, amour,” bisikku.

“Ikutlah, Sayang, bukankah sejak pertama aku telah mengajakmu?” jawabnya penuh suka cita.

“Kau yakin, setelah itu kita akan selalu bersama? Tak terpisahkan? Abadi?” tanyaku ragu.

Ma chérie, pernahkah aku mendustaimu? Bahkan aku belum pernah tak datang sekalipun bukan?”

Aku tertunduk. Orang-orang semakin ramai menikmati salju pertama di musim ini. Taman tak lagi sepi. Semakin dekat waktunya untuk berlalu.

Lagi-lagi aku meraba saku mantelku. Kekasihku mulai menjauh dari pelukku, jauh, jauh, dan menghilang seperti asap. Aku limbung. Cairan ini telah berada dalam genggamanku.

Dalam keraguan, kurebahkan tubuhku di kursi taman. Lagi-lagi tubuhku menggigil, entah dingin entah apa. Kudekatkan cairan amerta itu ke bibirku, dan sebelum kehilangan keberanian kutelan cairan itu dalam satu tegukan lalu tanganku terkulai lemas.

Aliran sedingin es melewati kerongkonganku lalu turun ke lambung. Dalam sekali tarikan napas, aku berjuang menuju ke keabadian. Masih sempat kudengar orang-orang berlari ke arahku.

“Hei, kenapa gadis itu?”

“Sepertinya pingsan, seseorang cepat panggil ambulans!”

“Terlambat! Dia sudah mati!”

“Kasihan, hampir setiap malam ia ke sini, bercakap dan berdansa seorang diri.”

Tak mampu lagi kudengar suara-suara itu. Aku hanya merasa dingin, gelap, tersesat dan kebingungan. Mana? Mana kekasihku? Mana keabadian itu? Mengapa ia tak menjemputku?

 *********************************

bench¹ : bangku panjang

ma chérie² : kekasihku

amerta³ : minuman para dewa

amour⁴ : cinta

Cerita di atas hanya sekedar fiksi belaka, ditulis dalam rangka meramaikan Kontes Flashfiction Ambrosia yang diselenggarakan Dunia Pagi dan Lulabi Penghitam Langit.

 Horeeee…… ikutan kontes lagi 😀 Wish me luck 😉

Iseng Aja · Nimbrung Mikir

Flash Fiction

Berawal dari ikutan lomba di blognya Riani, yang harus membuat cerita mini alias cermin dengan syarat tak lebih dari 160 karakter, sekarang aku kecanduan membuat cerita mini. Atau yang lebih dikenal dengan flash fiction atau fiksi mini atau aku lebih suka menyebutnya dengan Fiksi Kilat™ 😀

Apalagi karena aku memenangkan lomba itu 😳 jadi makin tertantang. Sampai-sampai membuat akun twitter ku tampil di sidebar dengan jejuluk “La Petite”. Maksudnya sih mau kuisi dengan fiksi kilat buatanku. Tapi ternyata, uangel buanget membuat fiksi dengan hanya 140 karakter! Weks, kalo sekedar berkata-kata sih gampang, tapi berkata-kata yang mengandung makna dan mengundang perhatian itu yang susyah. Maka La Petite ku itu hanya berisi kicauan semata 😛 (yang bahkan jarang banget di update). Segera aku mencari tahu tentang Fiksi Kilat™ ini.

Beruntung salah satu kawan yang pernah komen di blog ku ini salah seorang pembuat flash fiction. Adduhhh, sapa ya saya lupa 😦 mau nyari kok ya dah kelamaan arsipnya 😥 Kalo gak salah beliau dari Makasar, Daeng Iwan ato siapaaaa gitu 😦 Flash fiction beliau bagus-bagus. Dari situ terbuka mataku bahwa flash fiction tak harus sependek itu, bisa lebih panjang lagi. Simak kata wikipedia di bawah ini:

Flash fiction adalah karya fiksi yang sangat singkat, bahkan lebih ringkas daripada cerita pendek. Walaupun tidak ada ukuran jelas tentang berapa ukuran maksimal sebuah flash fiction, umumnya karya ini lebih pendek dari 1000 atau 2000 kata. Rata-rata flash fiction memiliki antara 250 dan 1000 kata. (Sebagai perbandingan, ukuran cerita pendek berkisar antara 2.000 dan 20.000 kata. Rata-rata panjangnya antara 3.000 dan 10.000 kata.)

Beberapa karya di Indonesia sudah menyebut flash fiction dengan beberapa nama[rujukan?]. Graffiti Imaji terbitan Yayasan Multimedia Sastra, sebagai contoh, adalah antologi “cerpen pendek”. Flash! Flash! Flash! terbitan Gradien menyebut dirinya sebagai kumpulan “cerita sekilas”. Sejumlah sastrawan juga menyebutnya sebagai “cerita mini”, disingkat “cermin”. Semua ini mengacu pada rupa flash fiction yang sepertinya dirancang untuk dibaca sekaligus.

Keterbatasan jumlah kata flash fiction sendiri sering kali memaksa beberapa elemen kisah (protagonis, konflik, tantangan, dan resolusi) untuk muncul tanpa tersurat; cukup hanya disiratkan dalam cerita. Secara ekstrem, prinsip ini dicontohkan oleh Ernest Hemingway dalam cerita enam katanya, “Dijual: sepatu bayi, belum pernah dipakai.”[1]

Satu jenis flash fiction menggunakan jumlah kata yang spesifik. Contohnya cerita lima puluh lima kata atau cerita seratus kata.

Asyiiik, berarti kan gak harus pendek bangget to? Ahaaiii, maka aku langsung bereksperimen dengan Fiksi Kilat™ ini 😀 Rupanya sangat menyenangkan, karena tak ada beban, pembaca gak bosan (menurutku lho 😛 ), dan bener-bener hanya sekilas baik membuatnya maupun membacanya 😀 Karena masih belum ada aturan baku untuk panjang cerita, maka Fiksi Kilat™ yang aku buatpun masih bervariasi panjang dan pendeknya 😛

Berikut percobaanku dalam membuat Fiksi Kilat™ : Hujan, Hujan (2), Belenggu, Lamaran, ML 😀 Memang baru sedikit karena memang masih belajar. Dan terutama idenya yang kadang datang sekonyong-konyong namun kadang mampet tak mengalir 😀 Dan aku paling senang dengan ending yang menjengkelkan :mrgreen: jadi cukup sulit mencari idenya 😛

Nah, Kawan, mari kita ber Fiksi Kilat™. Cukup meluangkan sedikit waktu dan taarraaa….. jadilah sebuah fiksi 😀 Yuukk…mariiiii……

Dongeng insomnia · Fiksi Kilat · Iseng Aja

Hujan

“Mengapa kamu bersembunyi melihatku?’ Tanyamu padaku. Aku tersipu dan merapat pada pohon beringin besar ini.

“Kan hujan, memang kamu gak merasakan?” Jawabku sekaligus bertanya.

“Kamu aneh, langit cerah begini kok dibilang hujan. Lihat, jutaan bintang ada di atas sana.”

“Tapi, mengapa ada air mengalir di pipiku?” Tanyaku heran sembari mengusap pipiku.

“Kamu menangis,” jawabmu lirih sambil membelai pipiku.

“Mengapa aku menangis?” Tanyaku tak mengerti.

“Karena sudah bertahun-tahun aku meninggalkanmu di sini.”

“Benarkah? Lalu mengapa sekarang kau datang?”

“Karena kita sudah berada di alam yang sama,” jawabmu dan pipimu pun basah.

Dan akupun berganti mengusap pipinya. Kami bergandengan tangan menuju tanah merahnya, yang masih basah.