Mia The Series · Teen's Chocolate

Mia The Series: Week End

Mia pulang ke rumah dengan hati berbunga-bunga. Tasnya dilempar begitu saja ke pojok kamar. Lalu ia melemparkan tubuhnya ke tempat tidur. Pikirannya menerawang mengingat kejadian tadi siang di sekolah. Andi, cowok jangkung yang tampan, yang baru seminggu duduk di kelasnya, yang hanya dalam waktu satu jam kedatangannya sudah mampu menggoncangkan kalbu semua cewek di sekolah, mengajaknya menghabiskan week end di pantai! Wow, sungguh Mia tidak habis pikir. Bagaimana tidak? Mia tidak pernah bertingkah over di depan Andi seperti teman-temannya yang lain. Gak naksir? Oh, tentu saja. Hanya cewek gak normal yang gak naksir Andi. Tapi untuk cari-cari perhatian, ho..ho.. tidak ada dalam kamus Mia. Maka sungguh terkejut ketika Andi mengajaknya ke pantai. Tentu saja Mia gak nolak. Ia ingin bikin heboh sekolah bila teman-temannya tau mereka jalan berdua.

Sebetulnya Mia tidak terlalu jatuh hati pada Andi. Entah mengapa hatinya terlanjur dipenuhi oleh sosok manusia bandel bernama Josh. Tapi ia gak mau menunjukkan perasaannya pada Josh. Mia gak ingin Josh tau isi hatinya, apalagi Josh pernah iseng menciumnya. Ih, seumur-umur Mia belum pernah dicium cowok. Mia mengelus pipinya. Josh emang sinting, makinya sayang.

Mia menghitung hari dengan jarinya. Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, ah… kok masih lama ya?

*****

Hari Jumat. Mia menghadapi kertas ulangannya dengan gelisah. Fisika memang tak pernah menarik hatinya. Padahal gak lama lagi ujian kenaikan kelas. Kertas ulangannya masih separuh kosong. Huh! Mia memang jago pelajaran biologi dan matematika, tapi fisika? Amit-amit! Rumus yang sudah ada itu hampir gak ada artinya, karena untuk mendapatkan jawaban soal gak cukup hanya menggunakan satu rumus aja. Mesti cari ini itu dulu, belum lagi nanti ternyata bukan rumus itu yang dipakai. Hah, Mia sungguh tak pernah bisa menyukai pelajaran yang satu ini.

Hana, jago fisika di kelasnya pernah berkotbah,”Fisika itu bukan untuk direnungi, apalagi dimaki-maki, tapi untuk dimengerti dan dipahami, juga dipraktekkan. Kalau kamu sudah mempraktekannya, wow begitu banyak keajaiban akan kau temukan. Banyak hal-hal menarik yang bisa kamu buat, Mi.”

Mia tersenyum kecut mengingat kata-kata Hana. Namun mendadak senyumnya hilang. Sebuah gulungan kertas kecil mendarat tepat di atas kertas ulangannya. Mia celingukan mencari Si Pelempar. Seraut wajah tampan tersenyum ke padanya. Oh, Andi! Mia membalas senyumnya lalu membuka gulungan kertas itu hati-hati,

Mi, soalku dah selesai semua. Kamu belum ya? Soal nomer berapa?

Duh, pucuk dicinta ulam tiba. Cepat Mia menuliskan lima nomor yang belum dibuatnya. Andi pasti kaget. Peduli amat. Lima belas menit lagi waktu habis. Tapi kemudian tuju menit sebelum bel Mia sedang asyik menyalin jawaban dari kertas kecil yang dilempar Andi. Gak nyangka, jago juga nih anak. Dah ganteng, pandai pula. Mia membayangkan Pak Hadi dan Hana pasti terkejut melihat hasil ulangannya kelak.

Bel listrik mengalunkan music yang serak dan sedikit fales. Suara keluhan panjang dan gemerisik kertas memenuhi kelas. Mia menghapus peluh di dahinya. Sesosok tubuh jangkung menjulang tinggi di hadapannya. Mia mendongak.

“Gimana tadi, Mi?” Tanya Andi.

“Oh, thanks ya, Di. Aku emang lagi kumat begonya tadi, untung kamu menawarkan bantuan,” ujar Mia sambil mencoba memberikan senyumnya yang paling manis. Andi nyengir.

“Besok jadi, kan kita jalan? Jam tiga aku jemput, ya?” bisik Andi.

Mia tersenyum kecil.

“Ok, aku tunggu,” balas Mia. Andi tersenyum lalu meninggalkan Mia. Monik yang naksir berat pada Andi mendekati Mia.

“Mi, kamu janjian sama Andi ya?” tanyanya curiga. Mia tertawa.

“Iya, Mon. Tapi kamu gak usah kuatir, doi paling suka lho ama cewek montok. Sexy katanya,” goda Mia. Pipi montok Monik langsung memerah. Dia tau Mia menggodanya.

Mia melangkah keluar menyusul Andi lalu menjajari langkahnya. Berpasang-masang mata indah meliriknya iri. Dan berpasang-pasang alis tebal berkerut menatap Andi dengan kesal.

“Besok kita bisa berenang, Mi. Asyik, lho!” ujar Andi.

“Hah! Jam segitu kan lagi panas-panasnya. Di pantai lagi, no..no.. bisa gosong kulitku nanti,” jawab Mia.

“Ah, gak apa-apa. Biar kulitmu coklat, Mia. Abisnya kamu putih banget sih, gak cocok jadi orang Indonesia!”

Mia tertawa. Iyalah, neneknya kan Belanda tulen.

“Liat nanti aja, deh,” ujar Mia. Mereka lalu berpisah.

Mia melangkah riang menuju gerbang sekolah. Oh, sosok tampan itu! Josh! Lekuk dagunya manis sekali. Jantung Mia serasa melompat-lompat.

“Hallo, Mia,” sapa Josh riang. Senyumnya membuat Mia tersipu.

“Eh, hai Josh. Jemput Fani, ya?”

“Iya, jemput kamu juga,” ujar Josh sembari mengedipkan mata dengan jenaka.

“Wah, aku sudah dijemput, Josh. Sorry,” kata Mia. Hatinya sedikit kecewa.

“Oh, gak apa. Besok jalan, yuk? Temani aku ke Gramedia mau gak?” ajak Josh. Mia berdebar lagi. Heran, biasanya jantungnya tenang-tenang saja. Ada apa ini?

“Wah, sorry, Josh, aku sudah ada janji. Tapi lain kali aku pasti mau, ok?”

Sekilas wajah tampan itu menunjukkan kekecewaan. Hanya sekilas, lalu senyumnya kembali mengembang.

It’s ok, aku masuk dulu, ya cari Fani,” pamit Josh lalu meninggalkan Mia.

Bye..,” ujar Mia pelan. Serasa ada yang hilang dari hatinya.

*****

Pukul tiga kurang seperempat. Mia mengancingkan blus warna-warninya menutupi swim suit yang telah dikenakannya. Jeans 7/8 nya menempel ketat tak mampu menyembunyikan keindahan tungkainya. Rambut ikalnya cukup digerai saja, segar dan cantik.

Pukul tiga lewat tiga menit dia sudah duduk di boncengan Andi. Backpack nya penuh berisi bekal piknik yang menggoda selera. Jalan raya pukul tiga sore ini memang tidak terlalu padat. Andi memacu motornya cukup kencang, toh Mia tidak melarangnya.

“Kamu bawa makanan apa aja, Mi?” serunya melawan deru motornya.

“Wah, macam-macam. Pokoknya benar-benar piknik, deh. Buat dua hari juga cukup,” balas Mia. Andi tertawa. Tadi siang dia sudah makan banyak, tapi sekarang perutnya terasa lapar lagi. Maklumlah, cowok ini masih dalam masa pertumbuhan.

Empat puluh menit kemudian keduanya sudah duduk di pasir pantai yang hangat. Pengunjung belum terlalu banyak, maklumlah masih terlalu panas untuk ke pantai. Mereka berdua hanya duduk-duduk di bawah pohon saja, agak terlindung dari pandangan. Sore ini masih terlalu panas untuk bermain air, tapi tak lama kemudian keduanya sudah terjun ke dalam air berenang dan bermain sembur-semburan air. Mata Andi menyapu wajah Mia, indah dan mempesona.

“Kamu cantik, Mia,” bisik Andi. Mia memerah. Disemburnya muka Andi dengan air. Keduanya kembali bersemburan air seperti anak kecil yang polos, yang tak menyadari pesona yang saling mereka timbulkan.

Senja mulai turun. Andi berbaring di pasir yang hangat. Mulutnya sibuk mengunyah sandwich lezat buatan Mia. Sementara Mia hanya tertawa geli memandangi manusia kelaparan itu. Sebentar lagi matahari terbenam tapi Mia belum ingin berganti pakaian. Ia masih ingin menikmati sejuknya angin laut dan hangatnya pasir pantai menyentuh kulitnya.

“Sebentar lagi matahari terbenam, Mi,” ujar Andi lalu bangun dan duduk menjejeri Mia. Kulit mereka bersentuhan. Tiba-tiba ketegangan hadir di antara mereka.

“Iya, sayang aku lupa bawa kamera tadi,” Mia berkata gugup. Keduanya terdiam kembali. Pandangan mereka terpaku pada warna bola oranye di batas cakrawala itu. Kian lama bola itu kian tenggelam meninggalkan warna-warna fantastis, jingga, putih, biru, kelam. Andi melirik gadis cantik itu, kemudian lengannya melingkari pinggang Mia. Gadis itu menoleh. Keduanya berpandangan. Debar jantung mereka serasa mampu mengalahkan debur ombak.

“Kamu cantik, Mia,” bisik Andi. Disibaknya rambut ikal Mia. Pesona magis sun set begitu menguasai mereka. Andi mendekatkan wajahnya ke wajah Mia. Bibirnya menyentuh lembut bibir Mia. Gadis itu sungguh tak berdaya, perlahan matanya terpejam. Sementara sang matahari kian tenggelam ke peraduannya, menyisakan semburat jingga, sisa-sisa kehangatan pasir masih terasa. Air pasang menjilati ujung-ujung jemari kaki mereka.

Tiba-tiba Mia tersadar. Didorongnya tubuh kekar Andi menjauh. Andi terkejut. Mia menggigil, namun bukan karena belaian angin laut, karena sesuatu yang lain. Dipeluknya kedua tangannya untuk coba menghangatkan diri.

“Maafkan aku, Mia. Aku gak sadar tadi,” bisik Andi pelan. Mia tak menjawab. Otaknya serasa lumpuh, tak mampu mencerna kata-kata Andi. Tuhan, apa yang kami lakukan tadi? Hampir saja setan lautan merusak kami. Dia hanya mencium bibirku, tapi serasa ternoda seluruh hatiku, bisik hati Mia.

“Pakai bajumu, Mia,” kata Andi seraya menyerahkan blus warna-warni Mia lalu melangkah ke tepi air. Bergegas Mia memakai blusnya tak peduli swim suitnya masih basah. Setelah itu kembali ia terduduk memandangi tubuh kekar Andi dari belakang. Kulitnya berkilat kecoklatan, inilah pria idaman seluruh cewek di sekolahnya. Tubuh jantan itu nyaris saja merusaknya, melumatnya seperti pasir pantai ini. Mia menitikkan air mata. Sekali dalam hidupnya ia nyaris terjerumus. Cepat ia membereskan tasnya.

Bola api raksasa itu sudah sepenuhnya ditelan cakrawala. Keduanya masih terdiam meresapi keindahan alam yang mampu menghipnotis kesadaran itu. Bias jingga sudah hilang sama sekali, berganti kelabu dan akhirnya hitam. Bulan setengah menggantikan sang raja siang.  Andi menghela nafas panjang. Digenggamnya tangan gadis di sebelahnya.

“Maafkan aku, Mia.”

Mia mengangguk.

“Aku juga. Untunglah setan laut belum menguasai kita,” bisik Mia pelan. Pipinya memerah. Andi membimbing Mia.

“Kita pulang, okay?”

Mia mengikuti langkah Andi. Berdua mereka tinggalkan pantai tanpa bicara. Berusaha meninggalkan bayangan kelam namun sekaligus kenangan indah. Bagaimanapun jiwa muda mereka masih senang berpetualang. Hanya kesadaran iman jugalah yang mampu menyelamatkan keduanya.

Mia teringat Josh. Apakah Josh juga akan berlaku seperti Andi? Tapi Josh pernah menciumnya dan Mia marah-marah karenanya. Perlahan Mia mengusap pipinya. Josh oh Josh! Dan Andi? Yang baru seminggu dikenalnya, yang punya sex appeal (kata Monik, Dea, Fani,  Susan, Clara dan lain-lainnya)? Mia menghela napas panjang. Andi meremas tangannya.

*****

Hari Jumat. Jam terakhir masih belum berubah, Fisika yang menyebalkan.

“Sepuluh,” bisik Mia. Monik nyengir.

“Jangan usil, Mi!”

Keduanya diam lagi berusaha mencerna apa yang dikatakan Pak Hadi di depan kelas.

“Berapa menit lagi sih, Mon?” gerutunya. Monik tersentak kaget. Dengan linglung ia melirik jam tangannya.

“Sepuluh menit!”

“Lama amat, sih? Cepetin, dong?”

“Hihihi…. Ya deh, sekarang kurang dua menit, Mi.”

Mia nyengir setengah kesal setengah geli.

“Lima belaaaas,” bisik Mia menghitung  Monik yang tak henti-hentinya menguap sejak tadi. Monik mencubit lengannya.

Akhirnya bel serak nan fales namun ditunggu seluruh murid itu berkumandang. Membangunkan si pengantuk, menyemangati si lapar, dan melegakan yang punya kencan.

Mia keluar bersama Andi. Di tempat parkir mereka berpisah. Langkah Mia mengayun ringan. Di gerbang ia melihat seorang cowok tampan, dengan lekuk di dagunya dan alis lebat yang hampir bertaut ujungnya.

“Hallo, Miaaa.”

“Aloha, Jossh.”

“Jadi ntar sore kita keluar?”

“Jadi, dong. Jemput aku yaa,” sahut Mia riang. Week end ini akan aman, karena dengan Josh. Karena ada Fani di antara mereka nanti.

*****

 

Pesan moral:

  • Masa remaja adalah masanya untuk mengeksplorasi segala hal, masa pencarian jati diri, masa coba-coba
  • Bimbingan dan pengarahan ortu sangat diperlukan, bukan dengan cara memarahi namun memberi pengertian
  • Tekankan kehidupan beragama dan moral etika dalam keluarga
  • Sesekali liburlah jadi “orang tua” dan jadilah ‘sahabat” untuk anak, di mana mereka merasa nyaman untuk bercerita dan bukan ketakutan akan dimarahi
  • Ingat, kita tak bisa mendampingi anak-anak 24 jam sehari, namun buatlah agar anak selalu merasa bahwa kita ada kapanpun mereka butuhkan
  • Susah, tapi ada baiknya dicoba 😀

 

Aku lupa gambar Aladdin dan Jasmine kuambil darimana, yang pasti nanya Google untuk mendapatkannya. Mungkin dari Disney 😦 Semoga tak ada yang marah 😦

18 tanggapan untuk “Mia The Series: Week End

  1. Ahahaha, saya selalu menunggu kelanjutannya, ahh nasibnya josh gimana ni, mia mia kau memilih siapa?

    Choco:

    Waduh, Mia pilih siapa ya? Ikutin terus ya, Mas dan dapatkan jawabannya hahahaha…. 😀

  2. yang paling utama faktor agama dulu ya mbak. selama dasarnya kuat Insya Allah akan terlindung. suka bgt sama cerbung nya

    Choco:

    Betul Jeng, membesarkan anak di jaman yang tanpa batas ini sungguh mengkhawatirkan. Iman dan agama adalah bekal yang kuat. Semoga anak-anak kita selalu dilindungi Allah ya, Jeng 😀

  3. Selamat pagi. Wah blognya bagus nih, artikelnya sangat memberi inspirasi. Oiy kunjungi blog saya juga ya.. Salam kenal ya, 😀

    Choco:

    Salam kenal, makasiy ya dah berkunjung 🙂

  4. Barang baru seringkali selalu terlihat lebih kinclong;
    Ternyata Mia sama seperti saya, sama sama kurang pinter Fisika.
    Hmmm… bahaya kalau terhanyut dengan ‘setan laut’,, memang butuh memahami pesan moral terutama yang poin 2, 3, 4, 5 (eh semuanya ding, hehe). Selamat siang ya Mbak;

    Choco:

    Hahahaha…. Fisika emang angel banget 😀 Selamat malem, Masbro 😀

  5. waaaah, terus …terus….gimana endingnya???
    Mia kahirnya milih Josh ya , Mbak Choco??
    (hahahaha….penasaran gini sih………… 😀 😀 )

    komunikasi yg baik dgn anak, memungkinkan kita utk bisa saling memahami dgn mereka , Mbak.
    Setuju sekali dgn semua hikmah yg ditulis diatas 🙂
    salam

    Choco:

    Hahahaha….. tebakan Bunda nampaknya benar 😀

    Mesti belajar banyak sama Bunda nih 🙂

  6. Selamat pagi. Wah blognya bagus nih, artikelnya sangat memberi inspirasi. Oiy kunjungi blog saya juga ya.. Salam kenal ya

    Choco:

    Wakakakaka…. wegaaaah…. 😆

  7. Lalu si Mia jadian sama siapa?
    Saya suka Fisika, tapi kok nilai saya dulu jelek terus ya?

    Choco:

    Yang pasti milih yang lebih dewasa 😉

    Nek aku mending kimia or math daripada fisika, marai emosi 😀

  8. Bener banget! 🙂
    Ditengah derasnya arus informasi skr ini, kalo gak pinter2 magarin diri, remaja kita rentan sekali bahaya pergaulan bebas…

    Choco:

    Ngeri ya, Sis, memang anak-anak harus dibekali iman yang kuat sedari kecil 🙂

  9. mia pesenan saya, kapan nyampenya ya bu?? gak pake daun bawang saosnya dikit,, 😛

    sudah baca, keren, bagus, nagih,,, 🙂
    pesan moralnya layak dicermati dan dijalankan, bener2 mesti hati2 nih jadi orang tua jaman sekarang,, *siap..siap*

    Choco:

    Pake bakso gak?
    Hurraayyy…bentar lagi masuk komunitas emak-emak niy hehehehe…..

  10. pesan moral yang mendalam….
    hanya iman yang dapat menyelamatkan generasi muda (seperti saya)….

    Choco:

    Wah, ini dia nih anak muda jaman sekarang 😀 Hati-hati, Surya… 😀

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s