Vivienne menatapku dengan mata yang basah. Untuk waktu yang lama kami berpelukan tanpa kata-kata. Banyak kata ingin terucap namun tak satu jua terlepas dari bibir. Kemudian Vivienne kembali rebah ke pembaringan, tangannya tak lepas dari genggamanku.
“Adriana, maafkan aku, Sayang, begitu banyak dosaku padamu,” ucapnya setelah isak mereda.
“Sshh, jangan ucapkan itu, Viv. Aku tak merasa begitu,” sahutku perih.
“Jadi, maukah kau membantuku?”
Aku tak berani menjawab. Ini adalah keinginanku seumur hidupku. Kubelai rambut perak Vivienne.
“Please, Ad. Will sangat membutuhkanku, takkan bisa hidup ia tanpaku. Hanya kau yang bisa menolongnya,” desah Vivienne, “Maafkan aku, seharusnya kau yang menerima pemberkatan itu.”
Kami berdua menyeka air mata. Kubelai pipinya, kuusap punggung tangannya. Aku tak pernah mendendam padanya.
“Dia…dia akan tahu, Viv,” jawabku setelah jeda yang mencekik.
“No, tak akan!”
“Anak-anakmu?”
“Juga tidak. Mereka semua tinggal di belahan bumi yang lain. Lagipula, kau cukup dekat dengan mereka. Kalaupun tahu, mereka tidak akan apa-apa bahkan semakin hormat padamu.”
Lagi-lagi jeda yang membuat kami berdua ingin berteriak-teriak macam orang gila.
“Baiklah, Viv. Semoga apa yang kulakukan ini benar.” Akhirnya keputusan yang sangat berat ini kuambil.
“Oh, Adriana, terimakasih. Aku tahu, aku selalu bisa mengandalkanmu. Maafkan aku, Sayang.”
********
Dua pekan aku berkabung untuk kematianku sendiri. Tertulis di pualam itu namaku, bukan nama Vivienne. Angin semakin kencang bertiup, bahkan salju tipis melayang-layang turun. Kurapatkan mantelku dan kugandeng mesra pria penderita Alzheimer yang dulu dan sekarang bahkan sampai nanti, akan selalu kucintai. Will, suami Vivienne kembaranku -separuh nafasku-.
********
Words: 242
Gambar pinjam dari Google 😉